Senin, 20 Januari 2020

Akhir Kisah sebuah Benteng

Aku tidak akan pernah tahu seperti apa masa depan menuntutku berlabuh

Pun aku tidak pernah menyangka semua yang aku usahakan di masa lalu tiba-tiba tercerai dan lebur

Semua yang aku usahakan

Semua yang aku pertahankan

Berakhir dalam sekejap mata

Tidak ada yang tahu, seyogyanya takdir akan membawaku ke titik ini -- cepat atau lambat; siap atau tidak.

Satu titik di mana aku harus melihat ke bawah; dihancurkan atau tidak?

Satu titik yang menuntutku untuk lepas dari ekspektasiku, lepas dari benteng kokoh yang sudah kubangun dan kupersiapkan bertahun-tahun

Satu titik yang memaksaku untuk kembali ke dasar

Jatuh lagi

Terjerembab

Terluka lagi

Menangis lagi

Satu titik yang mengajarkanku: setinggi apapun benteng yang aku bangun, jika pondasinya rapuh, akan hancur juga

Benteng itu pernah menjadi jawaban atas doaku, pun sampai detik ini akan terus jadi jawaban

Jawaban atas doaku yang menuntut penghiburan, di kala lelah dan perasaan terabaikan

Aku tidak bisa berbohong lagi; aku sedih, aku terluka. Namun dibalik hancurnya benteng ini, aku yakin ada pelajaran yang bisa kuambil

Dindingnya yang rubuh telah melepaskan dua merpati yang awalnya terkurung,
Dua jiwa yang menuntut kebebasan, namun terabaikan. Dua jiwa yang berhak untuk bahagia dengan jalannya masing-masing.

Selama ini aku egois dan mengurung merpati itu, namanya Pilihan dan Harapan. Aku mengurung mereka berdua dengan harapan mereka tidak meninggalkanku.

Tapi aku salah, semakin erat aku menjaganya, semakin hilang dia.

Kini Pilihan dan Harapan telah terbang menuju takdirnya. Aku hanya bisa berdoa mereka menemukan rumah. Rumah yang tidak akan menuntut; rumah yang nyaman; rumah yang tulus; dan rumah yang menerima.

Tidak seperti bentengku

Jumat, 23 Agustus 2019

Totalitas

Menjadi pribadi yang "all-out" adalah suatu tantangan untukku. Telah lama aku terkungkung di dalam cangkang ketakutan- takut memberikan yang terbaik, takut berbuat sesuai kata hatiku dan ketakutan-ketakutan lain.

Sebelum ini aku seakan melemparkannya kepada Tuhan- ah ada Tuhan, mengapa aku takut? Kemudian secara tidak langsung menyakiti diriku dengan berkata: imanmu kecil banget, Hil. Ini kan sudah jadi issue sejak dulu, mengapa tidak tuntas? Mengapa masih saja ada? Tapi aku sadar Tuhan tidak ingin aku menyalahkan diri.

Semenjak aku merenung lebih dalam tentang ketakutan-ketakutanku, dan berusaha mencari akar masalahnya, bertemulah aku dengan si hati kecil yang selama ini mencoba jujur, namun kupatahkan dengan ego dan "ke-aku-anku."

Dia berkata: aku takut tersakiti, aku takut segala hal yang kulakukan sia-sia. Selama ini aku berusaha mengatakannya,tapi kamu selalu saja membantahnya dan berpura-pura tidak mendengarku. Merasa dirimu kuat, merasa dirimu bisa berbuat sesuatu, dan menumpuk ketakutan tanpa menyelesaikannya. Sekarang aku datang dan kamu sudah tidak bisa mengelak- akhirnya kamu mendengarkanku juga!

Benar. Selama ini aku menutupi ketakutanku, berusaha mengeraskan hati dan memakai kaca mata kuda, seolah kegagalan bukanlah opsi untukku. Itulah sebabnya aku selalu bermain aman dan kurang mengeluarkan sisi terbaikku.
Kini aku mengakui, aku takut tersakiti. Siapa yang tidak takut, coba? Aku berusaha menerima diriku yang rapuh, sisiku yang sejak lama aku pendam, dan memilih untuk menyelesaikannya.

Mengapa kamu takut? Tidak apa, kita akan jalani semua ini bersama. Kegagalan adalah opsi semua orang, kamu tidak bisa serta-merta menghilangkannya. Menjadi gagalah, agar kamu tahu nikmatnya berhasil. Lakukanlah segala hal dengan penuh totalitas- setidaknya kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Berbuat dan berkatalah dengan jujur- akui kelemahanmu, akui kekurang-pengalamanmu sambil terus berkembang dan mempelajari hal yang baru. Tidak apa, semua orang pernah gagal, semua orang pernah terluka. Lebih penting lakukan yang terbaik dengan sungguh-sungguh, berbuat baik tanpa pamrih, menyelesaikan tugas dengan baik dan penuhilah ekspektasimu. Selagi muda cobalah tantangan-tantangan baru, keluar saja dari zona nyaman.

Hari ini dan detik ini, aku memperbaiki semuanya. Merangkul sisi hatiku yang selama ini aku abaikan, mengajaknya untuk menyelesaikan tantangan-tantangan menarik yang muncul di perjalanan hidupku. Membujuknya all-out dan  optimis. Menjadi pribadi antusias yang tidak takut gagal, toh yang penting caraku bangkit, kan, bukan gagalnya?

Pengalamanku mengajarkan, menjadi orang yg bersikap "minimalis" (tidak mau rugi, tidak berkomitmen, dan tidak bersungguh-sungguh) akan meninggalkan penyesalan di kemudian hari. Rasa sesal karena melakukan sesuatu di bawah potensiku yang sebenarnya, rasa sesal karena tidak menjadi berkat untuk sesama. Dan percayalah kawan, menyesal itu tidak enak. Lebih baik dari sekarang aku melakukannya dengan sungguh-sungguh dan all-out. Menjadi pelita untuk lingkunganku, memberikan kontribusi untuk pekerjaanku, karena aku yakin, berkat yang diberikan Tuhan akan menjadi sia-sia jika tidak kita salurkan untuk sesama.


Minggu, 21 April 2019

Penyelamat dalam Sunyi

Pergolakan yang  muncul di pikiranku membawa perenungan panjang. Butuh waktu untuk bisa memahami maksud dari cuplikan cerita yang terjadi. Terkadang aku sudah tahu jawabannya, setiap solusi dari persoalan yang muncul ke permukaan, namun alangkah sulit untuk menetapkan hati dan mendengarkan bisikan hati.
Aku perlu duduk diam, mengimani setiap intuisi yang perlahan muncul, menenangkan setiap desir hati yang bergejolak.
Ketenangan adalah sahabatku, menjauhkanku dari bising yang mengoyak iman. Keyakinan akan suatu perkara memang tak mudah kudapatkan, namun setelah yakin itu kudapat, tak ada yang bisa goyahkanku. Tuhan, izinkanlah aku untuk sekokoh batu karang.. setegap pemecah ombak... dan setegar pegunungan.
Biarlah makna perenunganku menjadi rahasiaku, biarlah kebijakan  menaungiku dalam diam. Biarlah kesulitan menguatkanku dan biarlah sunyi menjadi sahabatku. Biarlah aku menemukan suaraMu yang menggema diantara bisingnya dunia. Biarlah aku terus mengimaniMu, sang Tenang dalam badai. Sang Terang dalam gelap. Sang Alfa dan Omega, awal dan akhir. Sang Empunya kehidupan, Sang Pembawa Damai dalam kesunyian. Tuhanku, Penyelamatku.

Rabu, 12 Desember 2018

Berjuang

Malam ini aku terbangun dengan jantung yang berdebar-debar. Keringat bercucuran dan nafas tersengal-sengal. Aku baru saja berteriak dalam tidurku. Ini kejadian kedua kali yang aku alami dalam 2 tahun. Rasanya aneh bangun dalam ketakutan dan juga berteriak sebelum bangun. Kecewa rasanya menyadari bahwa teriakanmu mengganggu tetangga kamarmu, sedih rasanya mengetahui bahwa kamu takut untuk tidur. Takut, jika bayangan hitam itu muncul lagi. Aku tidak percaya takhayul, aku yakin kejadian ini hanyalah manifestasi dari emosi-emosi negatif yang selama ini aku pendam. Setiap hal pasti punya penyebab rasional yang menyertainya. Emosi negatif itu mungkin  muncul semenjak aku memutuskan untuk tidak sebebas dulu mengumbar perasaanku. Menurutku, perasaan adalah hal privasi yang tidak bisa sembarangan aku buka, bahkan pada orang-orang terdekatku. Ya, sekali lagi itu hanyalah asumsi. Toh aku tidak boleh menyimpulkan terlalu cepat. Aku berharap ini adalah kejadian yang terakhir, aku tidak mau terbangun dengan nafas terengal-engal dan teriakan lagi, karena berhadapan dengan emosi negatif dan perasaan takut yang berusaha aku pendam itu menggelikan. Kini, aku terpaksa menghadapi hal yang selama ini aku hindari; diriku versi jelek, tidak seperti versi baik dan berani yang selama ini aku tunjukkan pada orang-orang. Diriku versi lemah, yang ketakutan. Kejadian ini membuatku yakin bahwa aku manusia yang penuh kelemahan dan ketakutan; aku tidak perlu jadi superman yang tidak pernah takut. Ketakutan inilah yang membuatku merasa masih jadi manusia.
Aku harap aku tidak perlu berlari dan berteriak lagi dalam menghadapi ketakutanku. Aku harap aku bisa berjuang menghadapi gangguan tidur ini. Satu hal yang aku tahu, aku tidak boleh tidur dini hari lagi dalam keadaan capek dan tidak nyaman, karena bayangan hitam itu; ketakutan dan emosi negatifku, selalu muncul di saat aku lengah. Aku harus lebih rileks dan mengendalikan emosiku, mencegahnya membludak dan merugikanku. Akulah pahlawan yang bisa menolong diriku sendiri, aku tidak boleh berhenti untuk berjuang.

Senin, 08 Oktober 2018

PERSPEKTIF

Seekor burung gelatik bertengger di atas ranting, melihat keliling lalu menetapkan pandang di sebuah danau biru.
Kupu-kupu di sudut utara melihatnya, lalu ikut bertengger di sisi burung gelatik hijau.
"Apa yang kau lihat?" tanya kupu bercorak pelangi pada burung di sampingnya.
"Pemandangan," jawab burung singkat.
"Ah, apa indahnya?" tanya kupu sambil meletakkan pandang ke area sebelah danau.
"Masa seperti itu kurang indah?" jawab burung kebingungan.
"Lihat deh, tidak ada binatang yang mau mampir ke sana. Paling hanya binatang pemangsa yang betah tinggal di sana," timpal kupu-kupu.
"Pemandangan secantik itu, masak kamu bilang buruk?" balas gelatik.
"Coba lihat tanahnya. Gambut, tidak ada tumbuhan yang bisa tumbuh di situ. Seleramu kadang aneh ya, burung!" seru kupu-kupu.
Mendengar perkataan kupu-kupu, si gelatik tersenyum kecil.
"Dari tadi aku memandangi danau," jawab gelatik.
"Oh, aku kira kamu memandangi rawa-rawa," balas kupu-kupu.
"Arah pandangnya sama, tapi yang dilihat ternyata beda," kata gelatik sambil mengepakkan sayapnya lalu tertawa kecil. Ia beranjak dari ranting tempatnya bertengger dan berkata, "Sudah ah, kupu-kupu.. kamu menggangguku bersantai saja,"

**
Terkadang kita mengomentari suatu hal dengan perspektif yang kita miliki, entah itu benar atau salah. Bahkan tak jarang, tanpa dimintai pendapatpun kita memberi komentar yang negatif. Kita bertindak layaknya kupu-kupu yang mengasumsikan sesuatu tanpa konfirmasi, "Yang penting aku yakin pada pendapatku, terserah kamu bilang apa,"
Tak jarang munculnya pendapat kita didasari oleh egoisme personal, tanpa peduli dengan kepentingan bersama. Sering pula kata-kata yang kita lontarkan saat mengomentari sesuatu, didasari oleh sentimen personal, "Aku ga peduli, yang penting kata-kataku berseberangan sama pendapatnya,"
Atau bisa jadi, komentar kita tidak didasari oleh fakta-fakta dan hanya didasarkan oleh asumsi, "Aku enggak tahu sih, kata-kataku ini benar atau enggak. Cuma aku tetep ngomong biar kelihatan keren aja,"
Hal-hal yang kita lontarkan, semuanya bergantung pada perspektif yang kita gunakan. Lalu perspektif mana yang benar? Tentunya, untuk menjadi seseorang yang bijak, kita tidak hanya bergantung pada satu perspektif. Dibutuhkan perspektif-perspektif lain yang saling menopang untuk menyusun satu gambaran luas mengenai suatu peristiwa. Dibutuhkan pula banyak pandangan untuk dapat menghasilkan pendapat yang mengakomodasi banyak pihak, sehingga menghasilkan keputusan yang paling baik. Keputusan yang kita yakini adalah baik jika dibandingkan dengan pilihan lain.
Jadi, masih menganggap bahwa perspektifmu yang paling hebat?

Selasa, 31 Juli 2018

Kini Aku Tahu

Di usiaku yang ke- 22,

kini aku tahu
Rasanya iri dengki

Rasanya memaafkan kesalahan orang lain

Rasanya merelakan masa lalu yang pahit

Rasanya menerima kehidupan yang awalnya sulit

Rasanya dimaafkan

Rasanya menjadi bahan pergunjingan

Rasanya mempertahankan prinsip di hadapan orang banyak

Rasanya puas akan kerja keras yang terbayar

Rasanya sadar akan kesalahan

Di usiaku yang mulai dewasa ini,
kini aku tahu

Bahwa tidak semua hal yang kita inginkan terjadi

Bahwa kasih mengalahkan dengki

Bahwa ada kekuatan Ilahi

Bahwa kehidupan butuh sikap realistis

Bahwa idealisme sangat berarti

Bahwa prinsip adalah kunci

Hati dan pikiranku
Kini tahu

Usaha kadang tidak berhasil

Efisiensi harus direalisasi

Manusia saling butuh satu sama lain

Sabar adalah satu bentuk pengendalian diri

Kini aku tahu...

Tingkah lakuku adalah pilihanku

Perbuatanku adalah tanggung jawabku

Akulah pemegang kontrol penuh atas tindakanku