Selasa, 01 Januari 2013

Sajak Nirwana


Cerpen ini pernah jadi juara favorit LMCR... Sometimes i miss the old me imagining fiction story.. 

Sajak Nirwana
Oleh : Elisabeth Hilda Wisda Putri

Duniaku memang gelap. Tapi yang aku tahu, hatimulah yang meneranginya
*
Siapa yang mau sepertiku? Terlahir buta tanpa ayah ibu. Yang kutahu mereka tidak menginginkanku. Saat orok saja ibu sudah berinisiatif meluruhkanku. Dan jadilah aku. Cacat. Jika mampir ke Gang Sayidan, Tuan akan melihat gadis bertongkat yang membawa gorengan. Ya, dialah aku. Mungkin Tuan iba, tapi tenang saja, gadis ini tak mengharap keibaan. Ia hanya ingin dianggap sebagai manusia, bukan seonggok daging penambah beban keluarga.
*
Hari yang melelahkan. Tapi semua terbayar dengan uang yang kuperoleh. Tidak banyak memang, tapi cukuplah untuk membuat cacing-cacing di perutku berhenti menari. Dari kejauhan kudengar suara Adzan bergema, sayup-sayup menyusup kalbu. Dasar manusia bodoh. Untuk apa menyembah Empunya? Empunya itu tidak ada! Kalau Empunya ada, Ia tidak akan mengambil putri, dan kedua kakiku. Ia tidak akan sekejam itu padaku - yang katanya hambaNya ini. Tidak mungkin.
*
Bisa kurasakan sinar mentari menerobos pigmen-pigmen melaninku. Siang yang terik. Kata Eyang semua benda langit itu indah. Berarti mentari juga indah ya? Tidak, aku tidak ingin melihat mentari sekarang. Aku yakin suatu hari nanti Ia akan mengijinkanku melihatnya, mungkin setelah aku sampai ke Nirwana. Bayanganku, Nirwana adalah padang rumput hijau yang indah, di dalamnya malaikat bersenandung dan bernyanyi - mengutip kata Eyang. Malaikat adalah makhluk yang menjaga dan selalu membuat Tuan bahagia. Dan Eyang adalah malaikat - setidaknya bagiku. Andaikan Eyang tahu, aku bisa melihat sinar jika berada di dekatnya. Tuan  bingung ya, bagaimana seorang buta melihat? Kami melihat dengan hati, bukan mata.
Siang itu seperti biasa aku berjualan keliling kampung. Dagangan belum habis, dan aku pun melewati gang kecil itu. “Gang Sayidan, pembatas duniamu dengan dunia luar” begitulah kata Eyang. Tapi apa boleh buat? Gorengan ini tidak mungkin menghasilkan uang tanpa pembeli. Dengan hati-hati kuketukkan tongkat rotan ke aspal jalanan, dengan tampah berisi gorengan bertengger di kepalaku. Baru setengah perjalanan, tanpa sengaja tongkatku menyenggol sesuatu. Tidak terlalu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Yang kutahu kami jatuh seiringan.
BRUK. Tubuh ini bergasing. Tak bisa kubayangkan betapa sedihnya Eyang saat mengetahui gorengannya melebur dengan aspal keras jalanan.
Orang itu meneriakiku.
*
“Hei, kau buta ya? Lihat-lihat kalau jalan!”
Hening. Dia menunduk tak bergeming. Dengan kesal aku memunguti boneka dagangan yang tersebar ke seluruh penjuru. Sial! Hari ini aku sial! Sudah terik, bikin orang kesal pula! Aku pun menatap gadis itu. Aneh, tatapannya kosong. Mataku pun menari, berlarian dari pangkal rambut hingga ujung kakinya. Wajahnya yang sawo matang terlihat letih dan keringat berselancar di pipinya. Ia mengenakan baju merah marun yang beradu dengan rok jingga kusam. Tanpa alas kaki dan dia meenggenggam tongkat. Tongkat?
 Gadis itu mulai bangkit dan meraba aspal, mencari sisa kehidupan. Perasaan hangat mulai merubung hatiku yang gelap. Secuplik potret kehidupan bermain di otakku. Aku teringat Marta.  Jika masih hidup ia akan tampak seperti gadis ini. Anakku yang cantik dan penurut. Malaikat yang Empunya renggut dariku. Terekam semua memori yang menghilangkan cahaya hati. Tiga tahun silam saat Marta masih memelukku. Gadis berlesung pipi itu membangunkanku di pagi buta dan menjadi siangku. Tapi semua itu musnah setelah tabrakan kereta api yang merenggutnya, sebagian anggota gerakku dan merenggut kepercayaanku pada Empunya. Jika Empunya mendengar, aku hanya ingin bertanya: mengapa semua ini harus terjadi padaku? Tapi apa Ia sempat mendengarku - si manusia berdosa ini? Sepertinya Ia terlalu sibuk mengurus hamba lain yang taat beribadah. Tidak sepertiku.
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan. Bayangan gadis itu pun mulai menjauh, membawa sejuta kenangan di belakang...
*
“Tunggu!” terdengar suara parau yang mengejarku.
“Hai Nduk, aku minta maaf telah berkata-kata kasar.. Boleh aku mengantarmu ke rumah?’
Aneh, mengapa orang ini mendadak baik padaku? Apa karena tahu bahwa aku hanyalah gadis buta penjual gorengan?
“Tidak usah, terimakasih Bu, saya bisa berjalan sendiri,”
“Hitung saja sebagai permintaan maafku padamu,” jawabnya. Aku tidak bisa menolak. Jadilah kami beriringan menyusuri Gang Sayidan dan menuju Nirwana kecilku.
“Ibu tidak malu berjalan berdampingan dengan orang cacat seperti aku?”
“Untuk apa malu, aku juga sama sepertimu,” langkahku terhenti.
“Ibu...”
“Aku cacat,” rasanya waktu itu jantungku berhenti berdetak. Kaget, bercampur haru. Jadi ibu ini.. “.... Kakiku harus diamputasi. Kecelakaan kereta,” dua kalimat itu membekukan lidahku. Bagai sebuah rambu yang mengingatkan untuk berhenti.
“Em, mari, Bu. Rumah saya sudah dekat,” sambungku untuk melunakkan suasana. Kami pun menapak seiringan.
“Eh, sudah pulang, Nduk?” terdengar suara merambat dari kejauhan “...Loh, ini siapa, Nduk? Mari, Bu. Mari masuk,” lanjutnya.
*
Pandanganku melayang, menyusur tiap detail rumah si gadis. Dindingnya bercat putih,  bertempel pigura dan hiasan. Mulai dari wayang, hingga topeng batik. Rumahnya kecil, tapi bisa membuat Tuan nyaman di dalamnya. Pandanganku terhenti pada sebuah foto berbingkai kayu coklat. Terlihat seorang anak berdiri dengan senyumnya yang memikat, sangat bahagia.
Marta.
Anak itu mirip sekali dengan Marta.
Lamunanku terhenti. Si Eyang tua dengan gaya khas Jawa itu memulai topik dan aku pun terhanyut. Satu setengah jam kami berdebat, menyampaikan gagasan-gagasan dan termenung bersama. Sedetik kemudian, ia meninggalkan kami berdua - aku dan gadis itu.
“Jadi, sejak kapan kamu kehilangan penglihatan, Nduk?’
“Sejak lahir, Bu,” jawabnya. “Dan di mana kedua orang tuamu sekarang?”
“Saya tidak tahu, saya tidak pernah bertemu dengan mereka. Bercengkrama pun tidak. Mungkin kelak Empunya yang akan mempertemukan kami,” jawabnya dengan lugu.
“Hahahahahah....” Aku tidak kuat menahan geli.
*
Tawa ibu-suara-parau itu terdengar merendahkan. Aku akan mengakhiri percakapan ini. Untuk apa bercakap-cakap dengan orang yang tidak menghargai kita?  Membuang-buang waktu!
“Kau percaya Empunya, Nduk? Kasihan sekali, sepertinya Eyangmu itu terlampau jauh meracunimu dengan dongeng!”
“Yang Empunya bukan dongeng,” sergahnya. “Lalu Yang Empunya itu apa?”
“Saya memang tidak lebih pandai dari Ibu, saya juga tidak lebih bijak. Tapi yang saya tahu - dengan keadaan saya yang seperti ini, Empunya adalah cahaya yang menuntun saya untuk terus berjalan dalam gelap tanpa akhir. Empunya adalah satu-satunya alasan saya percaya, bahwa saya bisa melanjutkan hidup dengan baik. Empunya adalah alasan saya untuk terbangun di pagi hari dan tetap tersenyum untuk menyapaNya,”
Aku terdiam. Sederhana. Bukan teori muluk yang membikin otak mumet tak karuan. Tapi, begitu indah didengar oleh atheis seperti aku.
“Mungkin Ibu adalah skeptis yang tidak akan percaya sebelum melihat. Tapi tidak semua yang ada itu terlihat dan tidak semua yang terlihat itu ada, Bu,” lanjutnya.
“Apakah menurutmu aku terlambat untuk percaya?”
“Ibu sudah tahu jawabannya,”
“Maukah kau membantuku percaya?”
“Itu tergantung pada seberapa besar usaha Ibu untuk percaya,” aku menatap langsung ke mata gadis itu. Lagi-lagi kosong, tapi memancarkan ketulusan.
Satu hal yang aku suka saat menatap mata kecoklatannya - Tuan akan melihat kepolosan dan keberanian. Suatu hal menarik yang jarang kutemukan di dunia ini. Yang kutahu polos itu bodoh, berani itu garang – tapi gadis ini berbeda.
Mataku melekat padanya, menatap punggungnya yang berbalik dan melangkah pergi. Ada kesunyian yang mengikutinya, kesunyian yang damai. Aku pun tertunduk, merenungkan kalimat yang dikumandangkan Si Gadis. Mungkin dialah malaikat yang diam-diam aku harapkan selama ini-ya, sebenarnya dibalik ketidak-percayaanku pada Yang Empunya, aku ingin Ia mengirimkan malaikat untuk menghapus kesunyianku.
Aku terhenyak, mataku beralih menatap Eyang yang muncul dari balik pintu. Ia melepaskan sandal jepit buluk berkaret hijau lalu duduk menemaniku.
“Sepertinya anak itu pandai, sayang sekali jika tidak bersekolah,”
“Tenang saja, setiap hari ia mempelajari sesuatu dari buku,” Mendengar itu, aku memandang si Eyang. Bagaimana bisa?
“Setiap malam aku membacakan buku untuknya, ia anak yang cerdas. Sekali dengar langsung mengerti,”
“Tentu saja, sangat cerdas,” jawabku sambil tertunduk.
*
Sepertinya ibu itu sudah pergi. Lega rasanya. Meskipun begitu, aku iba. Ternyata ada hal yang lebih buruk dari kehilangan cahaya mentari - kehilangan cahaya hati. Aku beruntung masih bisa melihat Empunya. Aku melihatNya dalam setiap perkara baik di hidupku.
Malam ini sunyi, aku bersandar dekat jendela, merasakan hembusan angin membelai wajahku. Mendengarkan jangkrik dan tokek yang bernyanyi. Sebuah kedamaian yang tidak akan kutemukan di saratnya siang. Tiba-tiba sebuah kalimat berbaris di benakku, “Alangkah indahnya bila hidupmu yang singkat ini digunakan untuk membahagiakan orang lain, bukan hanya untuk dirimu,” sebuah kalimat yang mengingatkanku pada ibu-suara-parau. Sejak malam itu, aku bertekad untuk menjadi penuntun si Ibu dan menyalakan cahaya hatinya. Aku akan menjadi bulan yang mengorbit bumi. Selalu setia padaNya.
*
Setiap hari kami bersatu di Gang Sayidan, bersama menyusur kerasnya aspal jalanan demi sesuap nasi. Ia dengan tampah coklat bertengger di kepalanya, sedangkan aku menggendong boneka-boneka kecil. Sore hari menjadi tanda bagi kami untuk melepas lelah. Aku berteduh di rumahnya, sekadar menyapa si Eyang ataupun melewatkan waktu bersama si Gadis. Menjadi bagian di keluarga gadis itu bagai menemukan oase di gersangnya gurun. Kedamaian, kenyamanan, melebur jadi satu. Ia mengubah hidupku. Mempertemukan aku dengan Empunya. Banyak hal baik yang terjadi padaku. Gadis buta itu mengajariku untuk bersyukur atas setiap nafas kehidupan yang Ia berikan. Satu hal yang aku ingat....
“Mengeluh hanya menambah beban hidup, tidak ada gunanya, Bu” katanya sembari membenarkan tampah yang mulai bergeser.
“Tapi apa kau tidak penat pada hidup yang serba kekurangan ini? Kau tahu kan, pemerintah tidak pernah peduli pada nasib orang kecil seperti kita,”
“Jika kita bersyukur, pekerjaan sesulit apapun akan terasa menyenangkan, Bu” Ia berhenti sejenak, “... Ibu tidak pernah merasa begitu saat bersama Marta?”
Aku terdiam. “Hmm, dulu memang begitu, tapi semenjak Marta meninggal dan tubuhku cacat, aku lupa bagaimana rasanya bersyukur,”
Ia tersenyum simpul, lalu melanjutkan langkahnya, “Tapi sejak bersamamu, Nduk, aku tahu bagaimana rasanya..” Senyumnya melebar. Melihat senyumannya membuatku lupa akan segala letih. Ingin rasanya selalu berada di dekat gadis ini. Ya, dialah cahaya hatiku.
            “Bu....” Aku sadar dan menoleh.
            “Bolehkah aku mengunjungi Marta?” pintanya, “Tentu, Marta pasti akan sangat senang,” jawabku antusias. Maka kami melangkah menuju tempat itu, tempat di mana Marta beristirahat dengan tenang. Mata-mata penuh keingin-tahuan melekat sepanjang jalan. Mungkin bagi mereka seorang cacat dan gadis buta yang berjalan bersama adalah  sebuah pemandangan aneh. Tapi aku tak peduli. Menghadapi tatapan ‘orang-orang seperti mereka’ sudah menjadi hal yang biasa aku lakukan. Senyuman. Balaslah dengan senyuman.
            “Jadi ini makam Marta?” tanyanya, “Hai, Marta! Aku tahu kau pasti sudah bahagia di sana, jika di sana kau melihat orang tuaku, boleh ya, aku menitip salam cinta?”
            Aku menatap gadis itu. Ia tersenyum, tapi matanya menahan tetesan itu.
            “Tidak ada yang melarangmu menangis. Menangislah, itu akan membuatmu tenang, Nduk,” Ia membebaskan semua beban di matanya. Tetes yang mengucur mewakili setiap kegundahan hatinya. Dan aku pun melingkarkan tangan ke bahunya.
            “Mungkin aku tak akan bertemu dengan mereka,”
            “Kalian pasti bertemu di Nirwana. Hai, gadis kecil, dulu kau yang memberiku semangat, ayo, aku rindu dirimu yang optimis!” gurauku sambil menepuk pipinya. Ia pun tersenyum.
“Kau adalah mentari yang tak pernah jera untuk terbit, kan, Nduk?” **
            Aku  masih mengingat saat itu. Saat di mana dia menangis di pelukanku. Saat di mana aku sadar, dia sangat berarti untukku. Aku ingin selalu bersamanya. Kehilangan orang yang telah mengubah hidupmu sama saja kehilangan hidup itu sendiri. Aku ingat saat itu ia memakai daster bermotif bunga. Aku ingat ponytail yang menjadi ciri khasnya. Bisa dibilang aku ingat semua hal tentangnya. Tapi, apakah di sana ia mengingat – atau sekadar memikirkan – wanita suara parau ini? Entahlah. Mataku pun terpejam. Kubiarkan gelap itu membawaku, jauh ke kesunyian.
*
            Sudah lama aku tak bertemu ibu-suara-parau. Ia bak ditelan bumi. Setiap hari aku menunggunya di depan Gang Sayidan, ditemani deru dan asap kendaraan. Tapi.. Tak ada tanda apapun darinya. Aku merindukannya - sangat merindukannya.
Malam datang dan aku berbisik pada bulan. Memintanya sampaikan salam rinduku.
Kau tahu? Rasa ini lebih buruk dibanding kehilangan orang tua yang tak pernah kukenal sebelumnya. Aku tahu, ketidak-hadirannya tak boleh melunturkan semangatku untuk terus menjalani hari. Menyapa mentari dan menyambut bulan. Tapi tetap saja. Aku hilang.
********
            “Hey, Nduk!” panggil Eyang.
            “Ada apa Eyang? Ada yang perlu dibantu?”
            “Ah, tidak-tidak, Nduk. Kau pasti senang, ada surat dari ibu-suara-paraumu!” gurau Eyang. Yippie! Akhirnya dia menghubungiku juga. Aku penasaran, apa isi surat itu. Pasti ada alasan logis dibalik menghilangnya selama ini.
            “Eyang sengaja menunggumu pulang untuk membukanya. Sebentar, Eyang buka dulu..” Terdengar suara robekan amplop. Tapi, mengapa Eyang tidak segera membacakannya?
            “Yang? Eyang?” tanyaku seraya menggerak-gerakkan tangan mencari si raga. “...Eyang masih di situ kan?” Terdengar tangisan. “Eyang menangis? Ada apa Yang? Ada apa? Tolong jangan membuatku bingung begini!” Tanpa sadar aku pun juga meneteskan air mata. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Eyang pun memelukku.
            “Tolong bacakan, Yang, tolong” pintaku.
            “Untuk Gadisku.... Dan... Eyangnya... Yang hebat...” jawab Eyang terbata-bata sambil menahan tangis.

Aku adalah wanita yang beruntung, sangat beruntung karena bisa mengenal kalian berdua. Kalian adalah keluarga bagiku, kalian tahu kan, selama ini aku tak memiliki siapa pun. Terimakasih atas pelajaran hidup yang telah kalian berikan. Terimakasih karena telah membantuku untuk kembali percaya pada Sang Empunya hidup. Aku tidak akan pernah melupakan jasa baik kalian.
Akhir-akhir ini, keadaanku melemah. Separuh kaki ini tak kuat lagi menopang beban. Setiap aku mendongak ke bulan dan mengingatmu, Gadis Optimis, aku selalu punya alasan untuk tetap hidup. Tapi aku sadar, Empunya telah memanggil. Marta merindukanku di sana.  Saat itu akan tiba, cepat atau lambat. Dan saat kalian membaca surat ini, aku sudah menari bersama Marta di Nirwana. Merasakan keutuhan yang hilang tiga tahun sudah.
Mungkin kau tidak tahu, Nduk, tapi semua hal yang telah kau lakukan selama ini bagai sebuah Sajak Nirwana untukku. Menyegarkan, lembut dan menyejukkan......

Yogyakarta, 7 Juli 2011
Ibu-suara-parau