Rabu, 31 Desember 2014

2015

2014 is being so worderful for me and I praise the Lord for giving me strength to pass obstacles behind. My life is not perfect, neither like that in reality, but I know that something's perfect when you believe on it.
One year makes a different person's waking up in me, like there's inner goddess slept so long and now she's waking up. I want to be someone rich, beauty, smart but kind. I want to be anything. I want to be brave, lovely and cheerful. Me in 2014 was someone with vague path, and now I have a passion to be something undefeated. I know I have that right to be happy, you too, folks. So... my general resolution in 2015 is to be happy and lovely ;)

Senin, 14 Juli 2014

My Way- Frank Sinatra, A Tribute to My Best Man

When I was child I'm sure my dad ever sang this song for me... So, to remember him and his great voice I always play this song. I love you dad, thanks for giving me such a beautiful memory. I'm glad you've been there, in my past, in my life. Please, pray for us: me, mom and Brian so we can live this life happily. I don't know when, but let me assure you, God will unite us in a wonderful place called Heaven. Rest in Peace, dad... I love you.

Sabtu, 28 Juni 2014

Lelaki Tengah Malam, sebuah cerpen

Malam datang, merasuki tiap jengkal cahaya yang masih meraung, tak mau pergi. Aku datang, terduduk; setengah sadar. Kupandangi lalu lalang; orang-orang bergerak ke sana-ke mari, berpesta dalam remang cahaya pendar, ada yang menari, saling menatap. Pasangan muda melintas; pria jangkung dan wanita kecil, dan aku pun berteriak: timpang! Kuhirup oksigen lekat-lekat, udara semacam menyublim dan ruangan menyesak, kepalaku pening: aku harus keluar.
Di sanalah Ia, lelaki tengah malam. Rambutnya gondrong, seperti semak hitam, tubuhnya kurus, terlihat jangkung padahal tidak, sebuah metafora aneh tubuh manusia. Malam itu Ia mengenakan kemeja hitam, celana jeans dan sepatu kets, Macbeth. Aku memang terbiasa mengingat detail, dan dalam kasus ini, kita membicarakan Dia, aku pasti mengingat setiap detailnya. Ia terlihat canggung, mengalihkan pandangan ke bawah, lalu bergerak menuju kawanannya:lelaki-lelaki gondrong lainnya, syukurlah bukan perempuan bertubuh molek. 
Aku sendiri, menunggu waktu yang tepat untuk mendekatinya. Dia memang menarik, amat. Tengah malamku ini bersamanya, sepatah dua patah kata terucap, mencairkan suasana yang sebelumnya beku: kawan lama yang bertemu lagi, dalam suatu kebetulan. Kadang aku berharap kita ada tanpa kebetulan, saling berkata rindu kemudian bertemu terdengar mengasyikkan. Namun ada satu hal yang kupelajari dari hidup: jangan berharap suatu hal yang tidak pasti. Ruangan ini terbilang luas dan berbentuk kubus, namun lagi-lagi aku berharap ruangan ini menyempit, menyisakan kita yang berdesakan sehingga kulitku menyentuh kulitmu, sehingga bibirku dekat bibirmu, sehingga aku jatuh dalam dekapmu (Hukum saja dirimu yang membuatku gila, hukum saja! Jangan salahkan aku)
"Hai," sapaku.
Senyum terus menggantung di wajahku, sejenak kutemukan Kamu lagi. Kata-kata klise dan romantis bermunculan di otakku, aku memang lemah jika dekat Kamu, sayangnya tak satu pun terucap. Aku tak punya nyali dan bukankah itu tugas lelaki untuk memulai? Malam itu kami berdiam, berdekatan tapi tak saling berkata. Dia ada, di sampingku. Aku juga di sana, tapi entahlah, pikiranku menghambur. Dari sejak lama, bertemu dengannya menjadi suatu kebahagiaan yang tajam, yang menyakitkan. Ia tidak berbuat apapun di masa lalu, namun akulah biangnya. Aku yang membiarkan rasa ini tumbuh dan mengeras, memenuhi relung hatiku dengan bongkahan tajam, seperti kolesterol yang tersesat di aorta, menyumbat, membuatmu sakit. Tapi Ia tidak berbuat apapun, tidak ada ruang untuk sebuah cinta sepihak yang terpendam.
"Aku bersama seseorang," sebuah mantra mengalun dari bibirnya, mantra penolak bala.
"Siapa? Maksudku, siapa wanita yang beruntung itu?" susah payah kupasang senyuman tulus. Ia pun menunjuk seorang wanita: mungil, berwajah bulat kekanakan, berambut pendek dengan baju terusan putih yang sama mungilnya dengan tubuhnya.
"Pilihan yang tidak terlalu bijak," jawabku sambil menyesap gelas kecil berisi cairan putih. Ia terdiam.
'Maksudku, dari semua wanita yang kau ceritakan dulu: gadis sempurna, cantik, modern, modis dan berkelas yang selalu jadi tipemu.. dan ya, bisa aku katakan gadis ini... berbeda,"
"Benar, Nyonya-Tahu-Segalanya, dan apakah itu sebuah kesalahan, karena aku memilih wanita yang berbeda dari.. Oh, yang pernah aku ceritakan?" Ia bertanya, dengan nada sarkas yang kental.
"Bukan, Tuan, bukan suatu kesalahan. Tapi satu hal menjadi jelas di sini. Kamu adalah pembual, dan semua hal yang aku percaya tentang kamu adalah kebohongan," kataku sambil  pergi meninggalkannya dan ekspresi bingung bercampur marah yang tersisa di wajahnya.
Pembual. 
Semua hal yang dia ceritakan hanya bualan. Lima tahun aku terdiam dan setia mendengarkan bualan? Aku pasti sudah hilang akal. Lima tahun aku mencintai seorang pembual yang menolakku hanya untuk wanita macam itu. Gilanya lagi, selama ini Ia berkata bahwa hanya akan mencintai wanita dari kelas atas, yang dapat disingkat: Wanita-yang-Bukan-Aku! Bulan-bulan dihidupku kuhabiskan untuk menjadi wanita yang Ia mau dan, kejutan, Ia memilih wanita biasa, wanita yang... sangat biasa. Sungguh, pagi ini Tuhan mengingatkanku untuk bangun  dari mimpiku tentangnya dan tidak saling mengenal lagi.
*****
Wanita itu, Ia kenapa, sih?
Pembual? Aku bukan pembual dan sama sekali tidak paham apa yang Ia bicarakan. Aku rasa mencintai seorang wanita tidak melulu harus terpaut tipe: aku bebas mencintai siapapun. Memang benar, dulu aku mengidamkan wanita cantik, modis dan modern seperti yang Ia bicarakan, tapi, hey! Tuhan pun tahu sulit memiliki wanita macam itu, wanita macam Ia. 
Sudah lama aku mengamatinya, teman lamaku yang menjelma menjadi wanita hebat yang... sempurna. Aku sendiri tidak punya nyali untuk mendekatinya, Ia terlalu baik untukku, dan mungkin ini yang terbaik untuknya, Ia pantas mendapat yang sama baiknya dengan Ia. Malam kini berganti pagi, saatnya kembali. Saatnya bangun dan berpisah, saatnya tidak saling mengenal lagi. 

Rabu, 21 Mei 2014

Beauty

To me, beauty is about being comfortable in your own skin. It's about knowing and accepting who you are
 Ellen Degeneres

Sabtu, 26 April 2014

Aneh: Cara Saya Melihat Dunia


Saya menulis ini, karena saya yakin tidak akan ada yang membaca postingan ini, karena saya tahu kehidupan saya tidak semenarik itu untuk dibaca.
Menilik ke belakang, saat saya berumur 13an tahun, saya merasa menjadi gadis yang periang dan memiliki segalanya, di usia yang masih belia saya paham akan arti kehidupan dan kini saya kehilangan semua pegangan saya. Bukan, saya bukan mau mengeluh, saya hanya bercerita.
Semakin ke sini, saya melihat kehidupan (sosial khususnya) menjadi sesuatu yang kompleks dan tidak saya pahami. Saya tidak paham bagaimana orang lain menyakiti yang lain agar mendapat penghargaan, bagaimana seorang bertubuh kekar menyakiti anak kecil berumur tiga tahun, yang.... sangat tidak adil. Lihat saja perbedaan besar tubuh mereka. 
Saya bingung, mengapa Tuhan menaruh saya di dunia yang kejam, dan saya tidak dapat berbuat apa-apa?
Semakin ke sini saya merasa, pikiran saya tak ubahnya seorang anak autis yang melihat dunia dengan cara sederhana, dan seharusnya remaja perempuan berumur hampir 18 tidak memikirkan hal ini. Tidak memusingkan hal ini. Saya harusnya memikirkan bagaimana cara berdandan dan mengenakan baju yang pantas (ya, saya memikirkan ini) tapi ada hal yang lebih menggelitik saya. Kehidupan itu sendiri.
Saya ingin merubah dunia, tapi saya sadar saya hanya bermulut manis dan pendek akal, saya hanya mampu berpikir, bukan melaksanakannya. Saya butuh orang lain yang sepemikiran dengan saya untuk saling mendukung, tapi sayangnya hal itu hanya berakhir menjadi deskripsi panjang yang sedang Anda baca.

Crap, i'm totally weird. Saya merasa terlalu banyak mengeluh tentang kehidupan, yang sebenarnya indah. Ya, indah untuk saya, tapi tidak orang lain. Sejak awal saya yakin, saya tercipta untuk suatu alasan, dan saya akan terus mencari alasan itu dan mewujudkannya. Saya akan belajar dan menamatkan sekolah saya dengan benar. Saya akan membangun suatu lapangan pekerjaan di mana orang lain dapat meraup rizki dan tidak perlu menyakiti orang lain.

Tapi bagaimana pun, kejahatan tetap ada, seterang apapun itu, pasti ada bayangan yang menaungi, kecuali bila ruangan itu kosong, tapi sayangnya dunia tidak kosong. Oke, saya lahir untuk suatu alasan. Saya tidak akan menyerah hanya karena sebagian otak saya yang masih logis mengatakan saya aneh dan berbeda. Saya tidak akan menyerah

Menjadi Diri Sendiri

Menjadi diri sendiri.
Showing your own self, truly.

Jika ada yang memerintahkan saya untuk melakukan hal itu, saya akan terdiam dan bingung. Harus seperti apa, saya?
Menurut saya menunjukkan bagaimana pribadi kita sejujurnya bukanlah perkara yang mudah. Saya saja bingung bagaimana menjadi diri saya, sementara saya tidak tahu 'memang saya tuh bagaimana, sih?' 

Jujur, saya orang yang mudah membaca orang lain (tapi teramat susah mengenali diri sendiri) oleh karena itu saya mudah influenced dengan pandangan hidup orang lain-yang menurut saya keren dan benar, visi mereka, dan bodohnya semuanya saya terima mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu.
Saya dekat dengan banyak orang, dan saya menyugesti diri sendiri bahwa saya sama dengan mereka. Bukan, saya tidak mau sama dengan mereka, tapi tubuh saya secara otomatis mengatur sistem yang sedemikian rupa, bahwa saya adalah dengan siapa saya bergaul.
Itu adalah hal aneh, mengingat bayi kembar saja tidak 100% identik. Saya merasa hilang. Saya dapat seketika itu berubah, dan saya berakhir menyesali pikiran dan tindakan saya yang menurut saya 'duh,bukan saya banget.'
Saya baru menyadari hal ini saat saya sendirian, dan saya merasa telah melakukan hal yang teramat bodoh.
Saya, adalah sesuatu yang saya ciptakan dan saya harapkan. Saya adalah apa yang saya perjuangkan, apa yang saya yakini. Saya bukanlah pikiran orang lain. Saya bukanlah harapan mereka. Saya adalah saya, bukan orang lain- sepertinya ini yang harus saya cermati lamat-lamat. 

Sabtu, 19 April 2014

Review Suspiria (1977) movie

Pecinta horror klasik pasti udah tidak asing dengan judul yang satu ini. Yap, Suspiria. Film Italia karya Dario Argento ini emang masuk best horror movies all the time versi banyak blog-tidak terkecuali di blog saya.

Mengangkat cerita tentang akademi balet di Jerman, membuat film ini menjadi salah satu film klasik yang classy (hanya pecinta horror klasik yang paham, i bet) 
Lima belas menit pertama benar-benar memacu adrenalin saya (saya suka scoringnya, naikin detak jantung banget!) good job buat gore scene-nya, saya suka! Tapi sayang, darahnya kurang realistis (kayak pernah liat darah muncrat aja lo, Hil) 
To be honest, saya suka banget kesan artistik dan classy (but also dark in one perfect mixture) yang dibuat sang direktor, Dario Argento. Awalnya saya kurang paham film ini mau dibawa ke mana arahnya (mungkin karena saya fokus pada tarian balet, aksen yang lucu, dandanan ala 80'an yang dihadirkan secara menarik di film ini) Ghosts? Serial killers?.... wait, what, Witch?! Yap, ternyata Suspiria membawa kita ke sebuah akademi Balet terkenal di Jerman yang punya masa lalu yang kelam.... tentang sihir.

Pokoknya, jangan pernah ngaku pecinta horror klasik kalo belum nonton Suspiria. Walaupun endingnya kurang greget (ya, klise seperti horror klasik pada umumnya) tapi film ini tetap layak untuk ditonton sekaligus pengisi liburan. Good Job Dario Argento! 


Cewek Perfect, beyond perfection

Seperti apa sih perfect menurut kamu?

Cantik? Semua cewek itu cantik, tergantung melihat dari (sisi) mana.
Pintar? Ah tidak, terlalu pintar membuat minder.
Modis? You can find lot of girls in this town perfectly fashionable.
Baik? Baik itu relatif, jahat yang mutlak.

Lalu seperti apa yang kamu cari?
Yang cantik, pintar, modis dan baik?
Itu manusia?
Atau khayalanmu saja?

Tidak, sama sekali tidak salah mencari yang seperti itu. Aku pun tahu kamu sudah bersabar mencari dan menunggu yang seperti itu.
Tapi, apakah bijak menyia-nyiakan yang ada dan membuat standard yang bahkan tak ada ukuran validnya?
Apakah baik merendahkan yang lain hanya karena mereka tidak seperti yang kamu inginkan?

Baiklah, kamu boleh mencari yang sempurna.
Tapi jangan sakiti yang lain.
Yang masih menunggu
Kamu sadar
Dan berkata
Aku mencintaimu di atas kurangmu
And you're perfectly perfect
Without trying to be it

Syukur

Bapakku sudah tiada
Tidak seperti Bapakmu dan Ibumu
Yang masih tertangkap mata
Bercengkrama mesra

Ibuku berjuang sendiri
Tidak seperti Ibumu

Dari kecil aku susah
Tidak seperti kamu
Hidup bergelimang Segalanya
Berlebih segalanya

Tapi cukup saja cukup
Aku cukup aku bersyukur



Minggu, 23 Maret 2014

Bercanda

Sekarang jam sebelas malam. Belum terlalu malam.
Iya.
Namun mata seolah berontak.
Ini sudah malam.
Belum, aku masih ingin terjaga.
Terjaga seperti dulu. Memikirkan hal-hal yang tidak perlu.
Seperti misalnya.. berapa banyak orang yang terjaga dan memikirkan hal yang sama denganku?
Atau adakah orang yang terjaga dan memikirkan aku?
Haha, melantur.

Aku sering memikirkan orang yang sama di malam hari.
Yang sama. Aku tidak tahu mengapa.
Terobsesi? Hah, jangan konyol.

Aku hanya berharap bisa terlepas dari penyakit ini.
Memikirkan orang yang sama.
Aku bosan
Aku ingin ganti objek
Sepertinya banyak yang lebih menarik

Haha, bercanda.