Rabu, 04 Agustus 2010

Cinta Itu Tidak Buta

Cinta Itu Tidak Buta
Karya : Elisabeth Hilda 9E/24
***
Resa, seseorang yang selalu hadir di gelapnya malamku. Membawaku bangun dari mimpi buruk dan cerahkan duniaku. Kini ia harus pergi, melanjutkan studynya ke Negara Kanguru itu. Australia.
Siang itu ia datang- seperti biasa, dengan membawa mawar putih. Idolaku.
“Vitara, mawar putihku,” panggilnya lirih. Aku terkejut dan berpaling.
“Angin apa yang membawa mawar putih ini kepadaku? “
“Ada yang harus aku beritahukan, ini akan sulit,”
Ia pun memberitahu tentang rencana itu. Rancana orangtuanya yang secara tak langsung akan memisahkan kami. Study ke luar negeri? Detik itu, perasaanku bercampur aduk. Aku tidak ingin ia pergi! Tapi di sisi lain, apa aku berhak melarangnya? Akhirnya hanya terucap satu kata,
“Ya…”
“Aku akan kembali pada hari ke tiga di Bulan Juli, dua tahun yang akan datang. Tunggulah aku di Parangtritis, aku akan datang. Kita akan kembali ke laut, tempat kita pertama kali bertemu,”
Aku terdiam, apa yang bisa aku katakan?
Dan saat yang aku takutkan datang. Resa telah pergi ke Negara Kanguru itu. Ia hanya meninggalkan sebuah cincin pertunangan yang melambangkan cinta kami berdua. Belum ada sebulan, aku mendengar bahwa Resa telah menemukan peraduan lain. Ia menikah dan meninggalkan aku di sini, aku si cinta masa kecilnya! Perasaanku luluh lantah, langit rasanya runtuh! Rapuh.. Resa, teganya kau!
***
Hari ini, hari ke tiga di Bulan Juli. Hari di mana aku akan menemui cinta kecilku. Wanita yang aku tinggalkan dua tahun yang lalu. Desir pantai menyapu wajahku. Dingin rasanya! Tapi hal itu takkan menyurutkan gelora hati tuk memetik si bintang hati. Di mana Vitara?
Aku. Dengan kedua kakiku yang letih ini menyusuri Pantai Parangtritis. Mencekam memang! Tiba-tiba ada seorang wanita yang merajukku.
“Aku Vitara, sayang! Resa!” katanya sambil mencengkeram lengan panjang kemeja putihku. “Siapa kamu? Aku tidak mengenalmu!”
Tak mungkin dia Vitara! Vitaraku berkulit putih bagai salju, parasnya cantik menyilaukan hati, tubuhnya pun semerbak bunga mewangi! Berbeda dengan wanita kumuh ini, dekil, dan sepertinya, mentalnya telah terganggu.. Apa-apaan ini? Dia menarikku ke tengah laut!
“Ayo kita kembali ke laut, tempat kita pertama kali bertemu!” katanya memaksa.
Aku hanyut! Tak sadar aku! Bagai terhipnotis oleh wanita kumuh itu. Sontak aku mendorongnya. Hey, aku tidak mau mati sia-sia seperti ini! Aku belum menemukan bintang hatiku! Akhirnya kuterlepas darinya. Sekuat tenaga kuberlari. Terpaan ombak berusaha menyapuku, mendorong aku mendekat si wanita. Tapi aku tak menyerah, kutinggalkan si wanita yang hanyut tertelan ombak lautan. Terimakasih Tuhan, aku bisa lepas darinya! Akhirnya kupulang. Membenamkan diriku yang bergejolak di gelapnya malam.
“Halo, ini Tante Santi?“ nada halus keluar dari tenggorokanku, jelas aku harus sopan pada calon mertuaku. “Iya, ini Resa?”
“Iya Tante. Bisa bicara dengan Vitara?“ Tak kudengar jawaban. Ada apa gerangan? Kepulanganku penuh dengan keanehan!
“Kamu berani menelpon Vitara, setelah apa yang kamu lakukan? Kamu tahu, setiap hari ia menunggumu di Parangtritis. Tak peduli akan fisiknya, ia setia padamu. Tak makan, tak tidur! Hanya satu nama yang ia ucapkan- Resa! Tapi kau mengkhianati cinta putihnya dan menodai cincin pertunangan kalian!”
“Apa maksud Tante? Sekalipun aku tak pernah mengkhianati Vitara!”
“Iya, Vitara gila sepeninggalmu! Hanya karena kau menduakan cincin kalian! Ia selalu menunggumu di Parangtritis!”
Aku terdiam. Nada tinggi tadi telah membuyarkan otakku. Mati rasa. Seolah-olah dunia berhenti berputar- menangisi kisahku. Apa yang telah aku lakukan? Jadi semalam.. Bulir-bulir bening membasahi pipiku. Mataku terpejam- jantungku berhenti berdetak. Aku.. Sesak! Tersungkur aku meninggalkan suara wanita yang menuntut kejelasan. Suara itu menghilang. Semua terlambat!
***
Cahaya putih itu menyelimutiku. Bagai melayang aku di sebuah lorong putih. Tiba-tiba jiwaku serasa hidup kembali. Berbeda dengan dua tahun yang lalu. Sebulan setelah kepergian Resa. Semua terasa baru- tak setitikpun kesedihan mengelayutiku. Laksana anak kecil bermain air di surga kedamaian. Tunggu, surga? Apakah tempat ini? Bagaikan sebuah film pendek yang terputar di benak, akupun teringat sesuatu.
“Yang kuingat hanya air yang mengelilingiku. Mengeroyokku yang sudah tak berdaya lagi. Dengan ganasnya ia menerkam, membawaku hanyut di dinginnya samudera. Lalu sekarang di manakah aku? Apa aku mati? Setragis inikah?”
“Kematian bukan akhir segalanya- itu kata banyak orang. Tapi tahukah kamu, itu benar,” tiba-tiba suara lembut terdengar di indera. Bagai melodi yang membangunkanku.
“Siapa Kamu? Apa Kamu Tuhan? Jika benar, biarkan aku menemui Resa- menuntut kejelasan, walau hanya untuk yang terakhir kalinya! Aku tahu aku sudah mati. Tapi takkan kubiarkan cinta ini ikut mati!”
“Kejelasan apa? Tahukah kamu, ia tak pernah mengkhianatimu? Hatimu yang rapuh yang menghancurkanmu. Mengapa mudah sekali percaya pada perkataan orang lain? Apa itu yang kau sebut cinta, sebuah kerapuhan!”
“Apa mak…” sebelum aku berhasil menyelesaikan perkataan, film pendek itu muncul lagi. Terlihat seorang lelaki- Resa yang sedang memandangi fotoku. Tiap malam hanya aku yang dipikirkannya. Hanya aku, tak pernah terlintas di pikirnya tuk gantikan aku dengan mereka yang lebih indah. Sebelum aku puas, tayangan itu berganti. Kali ini terlihat aku sedang menangis di ruang tamu, meratapi malangnya nasib dan tersedu mengingat bintang hati. Tak jauh dari sana, hanya sekitar 5 meter di belakang, tampak seorang wanita tersenyum licik- ia adik angkatku. Hey, aku bisa membaca pikirnya! Ia yang mengabariku tentang perselingkuhan Resa. Ternyata selama ini, dialah dalangnya. Teganya dia! Akupun mengutuki diri. Sepertinya air mataku kering, tak bisa lagi menangis.
“Tak ada gunanya..” kata pria yang tadi dengan lembut. Kata-katanya itu- walau lembut, tetap menyayat hati. “Memang benar. Penyesalanku tiada guna, Semua terlambat..” lirihku, “Aku hanya ingin menemuinya”
“Temuilah dia, ingat perkataanKu tadi; Kematian bukan akhir segalanya. Cinta sejati itu tak pernah mati dan terpisah. Hanya jarak dan waktu yang menunda penyatuan kalian. Menunda berbeda dengan tak bisa menyatu.”
Cahaya putih menarikku, aku tak bisa berontak! Seperti tersedot waktu, waktu yang kunanti-nantikan.
***
“Resa..” terdengar suara sayup memanggilku, suara yang tak asing lagi, “Maafkan aku untuk semuanya. Tapi ketahuilah, di balik curiga dan amarahku, tersimpan cinta yang tulus untukmu- dan kuyakin, kaupun begitu. Kini walau kita terpisah- aku di sini dan kau di sudut terjauhku, yakinlah, cintaku untukmu takkan mati. Tak seperti tubuhku yang tertelan lautan, jiwaku masih ada di sini, di hatimu.”
“A.. Aku..” Tak ada yang bisa kukatakan, semua ini bagaikan petir di tanah kering. Terlalu mendadak, sampai tak bisa kucerna! Rasa cinta, bersalah, rindu, penyesalan semua terkumpul jadi satu. “Tetap mencintaimu, walau apapun yang terjadi.. A, aku takkan pernah menggantimu dengan bunga lain, mawar putihku!” Ia pun tersenyum dam memalingkan tubuhnya. Aku tahu, ia harus pergi.
“Kelak, jangan bersedih lagi, biarkan bunga lain menjagamu. Anggaplah ia sebagai penggantiku- untuk sementara waktu.” pesannya. “Bagaimana jika aku merindukanmu?” tanyaku.
“Tanamlah benih mawar putih sebanyak yang kau mau. Rawatlah mereka dengan baik, anggap sebagai bukti cintamu untukku. Biarkan mereka mekar di taman- di hatimu juga.”
Gelap. Akupun membuka mata. Kutarik nafas dalam-dalam. Berharap paru-paruku yang kosong terisi oksigen dan jantungku kembali berdetak. Kulihat Ibunda yang menangis di sampingku. Aku hampir menyusul Vitara, tapi ia mencegahku. Kupeluk Ibunda, meyakinkan jika anak lelaki satu-satunya masih hidup dan bisa menjaganya lebih lama.
Kini aku sadar, cinta itu tidak buta. Memang ia tak memiliki satu pun indera, tapi ia mempunyai satu hal misterius yang menembus segalanya. Ruang dan Waktu. Mungkin bagi setengah orang cinta itu dapat membutakan, tapi bagiku cinta yang membutakan hanya nafsu semata. Nafsu untuk memiliki ini dan itu. Padahal jika dilihat dari sudut pandang lain, cinta adalah kekuatan misterius yang mencerahkan duniaku dan kamu.
Aku teringat Vitara, si Mawar putihku (sekedar informasi, aku telah memenuhi tamanku dengan ratusan Mawar Putih. Sudah terdapat 256 kuntum. Menunjukkan hari ke 256 sejak aku bertemu jiwanya) Walau Vitara yang gila tak mengenali siapapun lagi, tapi cinta yang membuatnya dapat mengenaliku. Cinta yang membuat matanya yang hitam putih jadi secerah pelangi. Cinta yang hidupkan aku dan kamu, cinta yang satukan kita.