Cerpen ini pernah jadi juara favorit LMCR... Sometimes i miss the old me imagining fiction story..
Sajak
Nirwana
Oleh : Elisabeth Hilda Wisda Putri
Duniaku
memang gelap. Tapi yang aku tahu, hatimulah yang
meneranginya
*
Siapa
yang mau sepertiku? Terlahir
buta tanpa ayah ibu. Yang kutahu mereka tidak menginginkanku. Saat orok saja ibu sudah berinisiatif meluruhkanku.
Dan jadilah aku.
Cacat. Jika mampir ke Gang Sayidan, Tuan akan melihat gadis bertongkat yang membawa gorengan.
Ya, dialah aku. Mungkin Tuan iba, tapi tenang saja, gadis ini tak mengharap keibaan. Ia hanya ingin dianggap sebagai manusia, bukan seonggok
daging penambah beban keluarga.
*
Hari
yang melelahkan. Tapi
semua terbayar dengan uang yang kuperoleh. Tidak banyak memang, tapi cukuplah
untuk membuat cacing-cacing di perutku berhenti menari. Dari kejauhan kudengar suara Adzan bergema,
sayup-sayup menyusup kalbu.
Dasar manusia bodoh. Untuk apa menyembah Empunya? Empunya itu tidak ada! Kalau Empunya
ada, Ia tidak akan mengambil putri, dan kedua kakiku. Ia tidak akan sekejam itu padaku
- yang katanya hambaNya ini. Tidak mungkin.
*
Bisa kurasakan sinar mentari
menerobos pigmen-pigmen melaninku. Siang yang terik. Kata Eyang semua benda langit itu indah.
Berarti mentari juga indah ya? Tidak, aku tidak ingin melihat mentari sekarang.
Aku yakin suatu hari nanti Ia akan mengijinkanku melihatnya, mungkin setelah aku sampai
ke Nirwana. Bayanganku, Nirwana adalah padang rumput hijau yang indah,
di dalamnya malaikat bersenandung dan bernyanyi - mengutip kata Eyang. Malaikat adalah makhluk yang
menjaga dan selalu membuat Tuan bahagia. Dan Eyang adalah malaikat
-
setidaknya bagiku. Andaikan Eyang
tahu, aku bisa melihat sinar jika berada di dekatnya. Tuan
bingung ya, bagaimana seorang buta melihat?
Kami melihat dengan hati, bukan mata.
Siang itu seperti biasa aku
berjualan keliling kampung. Dagangan belum habis, dan aku pun melewati gang kecil itu. “Gang Sayidan, pembatas
duniamu dengan dunia luar” begitulah kata Eyang. Tapi apa boleh buat? Gorengan
ini tidak mungkin menghasilkan uang tanpa pembeli. Dengan hati-hati kuketukkan
tongkat rotan
ke aspal jalanan, dengan tampah berisi gorengan bertengger di
kepalaku. Baru setengah perjalanan, tanpa sengaja tongkatku
menyenggol sesuatu. Tidak terlalu jelas apa yang sebenarnya terjadi. Yang
kutahu kami jatuh seiringan.
BRUK.
Tubuh ini bergasing. Tak
bisa kubayangkan betapa sedihnya Eyang saat mengetahui gorengannya melebur dengan aspal keras
jalanan.
Orang itu meneriakiku.
*
“Hei, kau buta ya?
Lihat-lihat kalau jalan!”
Hening. Dia menunduk tak
bergeming. Dengan kesal aku memunguti boneka dagangan
yang tersebar ke seluruh penjuru. Sial! Hari ini aku sial! Sudah terik, bikin orang
kesal pula! Aku
pun menatap gadis itu. Aneh,
tatapannya kosong. Mataku pun menari,
berlarian dari pangkal rambut hingga ujung kakinya. Wajahnya yang sawo matang
terlihat letih dan keringat berselancar di pipinya. Ia mengenakan baju merah
marun yang beradu dengan rok jingga kusam. Tanpa alas kaki dan dia meenggenggam
tongkat. Tongkat?
Gadis
itu mulai bangkit dan meraba aspal,
mencari sisa kehidupan. Perasaan hangat mulai merubung
hatiku yang gelap. Secuplik potret kehidupan bermain di otakku. Aku teringat
Marta. Jika masih hidup ia akan tampak
seperti gadis ini. Anakku yang cantik dan penurut. Malaikat yang Empunya
renggut dariku. Terekam semua memori yang
menghilangkan
cahaya hati. Tiga tahun silam saat Marta masih memelukku. Gadis berlesung pipi
itu membangunkanku di pagi buta dan menjadi siangku. Tapi semua itu musnah setelah
tabrakan kereta api yang merenggutnya, sebagian anggota gerakku dan merenggut
kepercayaanku pada Empunya. Jika Empunya mendengar, aku hanya ingin bertanya: mengapa semua ini harus terjadi padaku?
Tapi apa Ia sempat mendengarku - si manusia berdosa ini? Sepertinya Ia terlalu
sibuk mengurus hamba lain yang taat beribadah. Tidak sepertiku.
Tiba-tiba
aku tersadar dari lamunan. Bayangan gadis itu pun mulai menjauh, membawa sejuta
kenangan di belakang...
*
“Tunggu!”
terdengar suara parau yang mengejarku.
“Hai
Nduk, aku minta maaf telah
berkata-kata kasar.. Boleh aku mengantarmu ke rumah?’
Aneh, mengapa orang ini
mendadak baik padaku? Apa karena tahu bahwa aku hanyalah gadis buta penjual
gorengan?
“Tidak
usah, terimakasih Bu, saya bisa berjalan sendiri,”
“Hitung
saja sebagai permintaan maafku padamu,” jawabnya. Aku tidak bisa menolak.
Jadilah kami beriringan menyusuri Gang Sayidan dan menuju Nirwana kecilku.
“Ibu
tidak malu berjalan berdampingan dengan orang cacat seperti aku?”
“Untuk
apa malu, aku juga sama sepertimu,” langkahku terhenti.
“Ibu...”
“Aku
cacat,” rasanya waktu itu jantungku berhenti berdetak. Kaget, bercampur haru.
Jadi ibu ini.. “.... Kakiku harus diamputasi. Kecelakaan kereta,” dua kalimat
itu membekukan lidahku. Bagai sebuah rambu yang mengingatkan untuk berhenti.
“Em,
mari, Bu. Rumah saya sudah dekat,” sambungku untuk melunakkan suasana. Kami pun
menapak seiringan.
“Eh,
sudah pulang, Nduk?” terdengar suara
merambat dari kejauhan “...Loh, ini siapa, Nduk?
Mari, Bu. Mari masuk,” lanjutnya.
*
Pandanganku
melayang, menyusur tiap detail rumah si gadis. Dindingnya bercat putih, bertempel pigura dan hiasan. Mulai dari
wayang, hingga topeng batik. Rumahnya kecil, tapi bisa membuat Tuan nyaman di
dalamnya. Pandanganku terhenti pada sebuah foto berbingkai kayu coklat.
Terlihat seorang anak berdiri dengan senyumnya yang memikat, sangat bahagia.
Marta.
Anak
itu mirip sekali dengan Marta.
Lamunanku
terhenti. Si Eyang tua dengan gaya khas Jawa itu memulai topik dan aku pun
terhanyut. Satu setengah jam kami berdebat, menyampaikan gagasan-gagasan dan termenung
bersama. Sedetik kemudian, ia meninggalkan kami berdua - aku dan gadis itu.
“Jadi,
sejak kapan kamu kehilangan penglihatan, Nduk?’
“Sejak
lahir, Bu,” jawabnya. “Dan di mana kedua orang tuamu sekarang?”
“Saya
tidak tahu, saya tidak pernah bertemu dengan mereka. Bercengkrama pun tidak. Mungkin
kelak Empunya yang akan mempertemukan kami,” jawabnya dengan lugu.
“Hahahahahah....”
Aku tidak kuat menahan geli.
*
Tawa
ibu-suara-parau itu terdengar merendahkan. Aku akan mengakhiri percakapan ini.
Untuk apa bercakap-cakap dengan orang yang tidak menghargai kita? Membuang-buang waktu!
“Kau
percaya Empunya, Nduk? Kasihan
sekali, sepertinya Eyangmu itu terlampau jauh meracunimu dengan dongeng!”
“Yang
Empunya bukan dongeng,” sergahnya. “Lalu Yang Empunya itu apa?”
“Saya
memang tidak lebih pandai dari Ibu, saya juga tidak lebih bijak. Tapi yang saya
tahu - dengan keadaan saya yang seperti ini, Empunya adalah cahaya yang
menuntun saya untuk terus berjalan dalam gelap tanpa akhir. Empunya adalah
satu-satunya alasan saya percaya, bahwa saya bisa melanjutkan hidup dengan
baik. Empunya adalah alasan saya untuk terbangun di pagi hari dan tetap
tersenyum untuk menyapaNya,”
Aku
terdiam. Sederhana. Bukan teori muluk yang membikin otak mumet tak karuan.
Tapi, begitu indah didengar oleh atheis seperti aku.
“Mungkin
Ibu adalah skeptis yang tidak akan percaya sebelum melihat. Tapi tidak semua
yang ada itu terlihat dan tidak semua yang terlihat itu ada, Bu,” lanjutnya.
“Apakah
menurutmu aku terlambat untuk percaya?”
“Ibu
sudah tahu jawabannya,”
“Maukah
kau membantuku percaya?”
“Itu
tergantung pada seberapa besar usaha Ibu untuk percaya,” aku menatap langsung
ke mata gadis itu. Lagi-lagi kosong, tapi memancarkan ketulusan.
Satu
hal yang aku suka saat menatap mata kecoklatannya - Tuan akan melihat kepolosan
dan keberanian. Suatu hal menarik yang jarang kutemukan di dunia ini. Yang
kutahu polos itu bodoh, berani itu garang
– tapi gadis ini berbeda.
Mataku
melekat padanya, menatap punggungnya yang berbalik dan melangkah pergi. Ada
kesunyian yang mengikutinya, kesunyian yang damai. Aku pun tertunduk,
merenungkan kalimat yang dikumandangkan Si Gadis. Mungkin dialah malaikat yang
diam-diam aku harapkan selama ini-ya, sebenarnya dibalik ketidak-percayaanku
pada Yang Empunya, aku ingin Ia mengirimkan malaikat untuk menghapus
kesunyianku.
Aku
terhenyak, mataku beralih menatap Eyang yang muncul dari balik pintu. Ia melepaskan
sandal jepit buluk berkaret hijau lalu duduk menemaniku.
“Sepertinya
anak itu pandai, sayang sekali jika tidak bersekolah,”
“Tenang
saja, setiap hari ia mempelajari sesuatu dari buku,” Mendengar itu, aku
memandang si Eyang. Bagaimana bisa?
“Setiap
malam aku membacakan buku untuknya, ia anak yang cerdas. Sekali dengar langsung
mengerti,”
“Tentu
saja, sangat cerdas,” jawabku sambil tertunduk.
*
Sepertinya
ibu itu sudah pergi. Lega rasanya. Meskipun begitu, aku iba. Ternyata ada hal
yang lebih buruk dari kehilangan cahaya mentari - kehilangan cahaya hati. Aku
beruntung masih bisa melihat Empunya. Aku melihatNya dalam setiap perkara baik
di hidupku.
Malam
ini sunyi, aku bersandar dekat jendela, merasakan hembusan angin membelai
wajahku. Mendengarkan jangkrik dan tokek yang bernyanyi. Sebuah kedamaian yang
tidak akan kutemukan di saratnya siang. Tiba-tiba sebuah kalimat berbaris di benakku,
“Alangkah indahnya bila hidupmu yang
singkat ini digunakan untuk membahagiakan orang lain, bukan hanya untuk dirimu,”
sebuah kalimat yang mengingatkanku pada ibu-suara-parau. Sejak malam itu, aku
bertekad untuk menjadi penuntun si Ibu dan menyalakan cahaya hatinya. Aku akan
menjadi bulan yang mengorbit bumi. Selalu setia padaNya.
*
Setiap
hari kami bersatu di Gang Sayidan, bersama menyusur kerasnya aspal jalanan demi
sesuap nasi. Ia dengan tampah coklat bertengger di kepalanya, sedangkan aku
menggendong boneka-boneka kecil. Sore hari menjadi tanda bagi kami untuk
melepas lelah. Aku berteduh di rumahnya, sekadar menyapa si Eyang ataupun
melewatkan waktu bersama si Gadis. Menjadi bagian di keluarga gadis itu bagai
menemukan oase di gersangnya gurun. Kedamaian, kenyamanan, melebur jadi satu.
Ia mengubah hidupku. Mempertemukan aku dengan Empunya. Banyak hal baik yang
terjadi padaku. Gadis buta itu mengajariku untuk bersyukur atas setiap nafas
kehidupan yang Ia berikan. Satu hal yang aku ingat....
“Mengeluh
hanya menambah beban hidup, tidak ada gunanya, Bu” katanya sembari membenarkan
tampah yang mulai bergeser.
“Tapi
apa kau tidak penat pada hidup yang serba kekurangan ini? Kau tahu kan,
pemerintah tidak pernah peduli pada nasib orang kecil seperti kita,”
“Jika
kita bersyukur, pekerjaan sesulit apapun akan terasa menyenangkan, Bu” Ia
berhenti sejenak, “... Ibu tidak pernah merasa begitu saat bersama Marta?”
Aku
terdiam. “Hmm, dulu memang begitu, tapi semenjak Marta meninggal dan tubuhku
cacat, aku lupa bagaimana rasanya bersyukur,”
Ia
tersenyum simpul, lalu melanjutkan langkahnya, “Tapi sejak bersamamu, Nduk, aku tahu bagaimana rasanya..”
Senyumnya melebar. Melihat senyumannya membuatku lupa akan segala letih. Ingin
rasanya selalu berada di dekat gadis ini. Ya, dialah cahaya hatiku.
“Bu....” Aku sadar dan menoleh.
“Bolehkah aku mengunjungi Marta?”
pintanya, “Tentu, Marta pasti akan sangat senang,” jawabku antusias. Maka kami
melangkah menuju tempat itu, tempat di mana Marta beristirahat dengan tenang.
Mata-mata penuh keingin-tahuan melekat sepanjang jalan. Mungkin bagi mereka
seorang cacat dan gadis buta yang berjalan bersama adalah sebuah pemandangan aneh. Tapi aku tak peduli.
Menghadapi tatapan ‘orang-orang seperti mereka’ sudah menjadi hal yang biasa
aku lakukan. Senyuman. Balaslah dengan senyuman.
“Jadi ini makam Marta?” tanyanya, “Hai,
Marta! Aku tahu kau pasti sudah bahagia di sana, jika di sana kau melihat orang
tuaku, boleh ya, aku menitip salam cinta?”
Aku menatap gadis itu. Ia tersenyum,
tapi matanya menahan tetesan itu.
“Tidak ada yang melarangmu menangis.
Menangislah, itu akan membuatmu tenang, Nduk,”
Ia membebaskan semua beban di matanya. Tetes yang mengucur mewakili setiap
kegundahan hatinya. Dan aku pun melingkarkan tangan ke bahunya.
“Mungkin aku tak akan bertemu dengan
mereka,”
“Kalian pasti bertemu di Nirwana.
Hai, gadis kecil, dulu kau yang memberiku semangat, ayo, aku rindu dirimu yang
optimis!” gurauku sambil menepuk pipinya. Ia pun tersenyum.
“Kau
adalah mentari yang tak pernah jera untuk terbit, kan, Nduk?” **
Aku
masih mengingat saat itu. Saat di mana dia menangis di pelukanku. Saat
di mana aku sadar, dia sangat berarti untukku. Aku ingin selalu bersamanya.
Kehilangan orang yang telah mengubah hidupmu sama saja kehilangan hidup itu
sendiri. Aku ingat saat itu ia memakai daster bermotif bunga. Aku ingat ponytail yang menjadi ciri khasnya. Bisa
dibilang aku ingat semua hal tentangnya. Tapi, apakah di sana ia mengingat –
atau sekadar memikirkan – wanita suara parau ini? Entahlah. Mataku pun
terpejam. Kubiarkan gelap itu membawaku, jauh ke kesunyian.
*
Sudah lama aku tak bertemu
ibu-suara-parau. Ia bak ditelan bumi. Setiap hari aku menunggunya di depan Gang
Sayidan, ditemani deru dan asap kendaraan. Tapi.. Tak ada tanda apapun darinya.
Aku merindukannya - sangat merindukannya.
Malam
datang dan aku berbisik pada bulan. Memintanya sampaikan salam rinduku.
Kau
tahu? Rasa ini lebih buruk dibanding kehilangan orang tua yang tak pernah
kukenal sebelumnya. Aku tahu, ketidak-hadirannya tak boleh melunturkan
semangatku untuk terus menjalani hari. Menyapa mentari dan menyambut bulan. Tapi
tetap saja. Aku hilang.
********
“Hey, Nduk!” panggil Eyang.
“Ada apa Eyang? Ada yang perlu
dibantu?”
“Ah, tidak-tidak, Nduk. Kau pasti
senang, ada surat dari ibu-suara-paraumu!” gurau Eyang. Yippie! Akhirnya dia
menghubungiku juga. Aku penasaran, apa isi surat itu. Pasti ada alasan logis
dibalik menghilangnya selama ini.
“Eyang sengaja menunggumu pulang untuk
membukanya. Sebentar, Eyang buka dulu..” Terdengar suara robekan amplop. Tapi,
mengapa Eyang tidak segera membacakannya?
“Yang? Eyang?” tanyaku seraya
menggerak-gerakkan tangan mencari si raga. “...Eyang masih di situ kan?”
Terdengar tangisan. “Eyang menangis? Ada apa Yang? Ada apa? Tolong jangan
membuatku bingung begini!” Tanpa sadar aku pun juga meneteskan air mata. Aku
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Eyang pun memelukku.
“Tolong bacakan, Yang, tolong”
pintaku.
“Untuk Gadisku.... Dan... Eyangnya...
Yang hebat...” jawab Eyang terbata-bata sambil menahan tangis.
Aku adalah wanita yang beruntung,
sangat beruntung karena bisa mengenal kalian berdua. Kalian adalah keluarga
bagiku, kalian tahu kan, selama ini aku tak memiliki siapa pun. Terimakasih
atas pelajaran hidup yang telah kalian berikan. Terimakasih karena telah
membantuku untuk kembali percaya pada Sang Empunya hidup. Aku tidak akan pernah
melupakan jasa baik kalian.
Akhir-akhir ini, keadaanku melemah.
Separuh kaki ini tak kuat lagi menopang beban. Setiap aku mendongak ke bulan
dan mengingatmu, Gadis Optimis, aku selalu punya alasan untuk tetap hidup. Tapi
aku sadar, Empunya telah memanggil. Marta merindukanku di sana. Saat itu akan tiba, cepat atau lambat. Dan saat
kalian membaca surat ini, aku sudah menari bersama Marta di Nirwana. Merasakan
keutuhan yang hilang tiga tahun sudah.
Mungkin kau tidak tahu, Nduk, tapi
semua hal yang telah kau lakukan selama ini bagai sebuah Sajak Nirwana untukku.
Menyegarkan, lembut dan menyejukkan......
Yogyakarta, 7 Juli 2011
Ibu-suara-parau