BUNGA DI KRATON
Karya : Elisabeth Hilda
Aku adalah seorang putri Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat … Namaku Raden Ajeng Cinde Inten Nawang Kusuma , aku biasa dipanggil Cinde . Rama (panggilan untuk ayah)ku adalah orang yang berperan penting di Kraton , Ibuku adalah pekerja keras yang juga tak kalah pentingnya di kraton...
Aku adalah anak satu –satunya di keluarga Kraton . Oleh karena itu , kedua orang tuaku sangat memperhatikan aku . Walaupun aku tidak dimanja , tetapi perhatian yang mereka padaku lebih dari cukup . Aku sangat bersyukur karena mempunyai orang tua seperti mereka. Walaupun kedua orang tuaku sangat sibuk . Mereka sering pergi ke luar kota -bahkan ke luar negeri- ataupun seabreg kegiatan lain yang tidak bisa ditunda hanya untuk sedetik bersamaku .Walaupun begitu, aku tetap senang karena mereka -hampir setiap detik- selalu meneleponku , memastikan bahwa Cinde kecil mereka baik-baik saja .
Tapi walaupun begitu , terkadang aku kesepian juga . Walaupun banyak dayang yang menemaniku , sepertinya tetap saja hidup ini hampa .
“Ah, aku tidak boleh begitu ..”
Bisikku untuk menenangkan hati yang gundah ini .
*****
Seperti biasa , pagi itu Pak Rudi –supir pribadiku- sudah menunggu dari kejauhan . Saat itu aku baru saja keluar dari Bale Keputren , Bale Keputren adalah tempat tinggal para Putri yang belum menikah .
“Sugeng enjang (selamat pagi) , Pak !” Sapaku dengan aksen Jawa yang kental .
“Sugeng enjang , Ndara Ayu (Ndara Ayu adalah sebutan untuk nyonya) “
“ Ayo , Pak ! kita berangkat ! “
“ Nggih(iya) , Ndara Ayu. “
Pak Rudi pun langsung tancap gas . Sesaat kemudian barulah aku sampai ke SMP baruku yang terletak tidak jauh dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat .
“ Mengapa orang-orang melihatku dengan aneh , ya ? ”
Biasanya hal ini terjadi padaku setelah mereka tahu bahwa aku adalah Putri Kraton Ngayogyakarta . Tapi , mengapa baru hari pertama masuk sudah begini ? Apakah kabar itu bisa dengan cepatnya menyebar ?
Dengan masih tertunduk , aku memasuki ruang kelas 7F , kelasku yang baru di kelas 7 ini .Akupun duduk di bangku paling depan . Beberapa menit kemudian , saat aku sedang memandang sekeliling , terdengarlah suara.
“ Permisi , bolehkah aku duduk di sampingmu ? “ tanya seorang gadis dengan lembut . Kulitnya sawo matang . Rambutnya pun panjang bergelombang menutupi bahu . Dia adalah gadis yang manis .
Dengan cepat aku menjawab, “Dengan senang hati .”
Dengan terbata-bata dia mencoba duduk di kursi sampingku .
“ Ya Tuhan , apakah dia ..? “ bisikku dalam hati .
Aku sama sekali tidak menyangka bahwa gadis manis yang baru saja duduk di sampingku itu ternyata pincang . Aku merasa iba melihatnya .
“ Perkenalkan , aku Cinde , dari SD Ungaran . Boleh tahu siapa namamu ? “ Sapaku lembut dengan menyodorkan tangan kananku .
“ E, aku Bunga , dari SD Keputran 9 .” jawabnya dengan menjabat tangan kananku .
“ O , Bunga . Rumahmu di mana ? “
“ Tidak jauh dari sini . Tinggal jalan kaki saja . Kamu ? “
“ Tidak jauh dari sini juga . Tapi bedanya , aku naik kendaraan . “ jawabku singkat .
Kami pun saling melempar senyum .
Selama pelajaran , aku hanya memandangi Bunga saja .
Seragamnya yang sudah mulai kuning , sandal jepitnya yang tidak layak , membuatku iba padanya. Tapi, walaupun dinaungi oleh semua kekurangannya , Bunga tetap saja serius memandangi papan tulis yang sudah penuh dengan tulisan itu , sampai-sampai ia tidak merasa bahwa ada seseorang di sampingnya yang terus memandanginya . Aku salut pada Bunga !
Akhirnya bel berbunyi . Artinya istirahat pertama pun dimulai . Tiba –tiba aku mendengar teriakan dari salah satu anak lelaki .
“ Pincang .. ! “
Bunga yang pura-pura tidak mendengar itupun langsung memasukkan buku pelajarannya .
“ Pincang jelek . . ! “
Kali ini suara teriakan itu pun semakin kencang . Aku pun menyambar .
“ Apa hakmu berkata seperti itu ? Memangnya kamu lebih baik dari dia ?! “
“ Setidaknya aku tidak pincang seperti dia ! Wlek, pincang jelek ! “
“ Kalian berdua , cukup ! “ Terdengarlah suara pukulan meja .
“ Aku memang pincang ! Aku mungkin juga tidak lebih baik dari kamu ! Tapi aku yakin , Tuhan tidak berkata seperti itu ! Karena Tuhan ada untuk membela yang lemah ! kamu ingin mengejekku sampai beratus-atus kali pun aku tidak akan peduli ! Karena kepincanganku adalah anugerah dari Tuhan ! “
Aku tidak percaya , ada orang yang setegar Bunga ! Dengan tatapan terpesona aku melihat ke arah Bunga yang perlahan-lahan mengatur nafasnya itu .
Tepuk tangan pun menghela ketegangan antara kami bertiga . Bunga yang sudah meledak itu -dengan langkah yang tertatih-tatih- meninggalkan kelas . Aku pun mengikutinya .
“ Bunga , tolong berhenti ! aku ingin mengatakan sesuatu . “
“ Ah sudahlah , aku tidak perlu rasa kasihan mu ! “
Aku yang dengan mudah menyusul Bunga itu pun berkata , “ Aku tidak kasihan pada mu ! Mungkin, tadi sewaktu kita bertemu aku memang kasihan pada mu , tapi sekarang aku malah kagum ! “
Bunga pun menghentikan langkahnya .
“ Apa yang dikagumi dari seorang gadis pincang ? “ tanya Bunga dengan nada mengejek .
“ Ketegaran mu . “
Bunga hanya terdiam .
“ Putri Kraton sepertimu , kagum pada ku ? Tidak mungkin ! “
“ Mengapa tidak percaya padaku ? Mungkin kamu tidak percaya , tapi Tuhan tahu ! “
“Huh, lebih baik kita bicara di taman saja ,” kata Bunga yang sudah mulai tenang itu sambil menunjuk ke arah taman .
“ Baiklah , ayo . “
Kami pun duduk di bangku taman yang nyaman itu .
“ Hmm.. Maafkan sikapku yang tadi . Aku sedang emosi . Dan terimakasih telah membelaku .” pinta Bunga .
“ Memang sudah kewajiban ku untuk membela yang benar , tidak usah mengucapkan terimakasih .”
Bunga pun tersenyum simpul pada ku .
“ Kalau boleh tahu , sejak kapan kaki mu … Hmmp “
“ Sejak lahir . Sudah , tidak usah sungkan . Aku sudah terbiasa seperti ini .. Mungkin, ini adalah anugerah tersendiri yang Tuhan berikan pada ku . “
“ Kamu tidak merasa ini sebuah cobaan ? “
“ Tidak ada cobaan dalam kamus kehidupan ku . Semua adalah anugerah yang dipandang dari sudut yang berbeda . Bahkan, menurut ku kematian adalah anugerah spesial yang diberikan Tuhan selain kehidupan . “
Aku semakin takjub pada Bunga . Di usianya yang masih belia ini , dia sudah mengerti arti sebuah anugerah . Bahkan kematian yang selama ini aku takuti , ia pandang sebuah anugerah .
“ Tanpa kematian kita tidak dapat kembali pada Tuhan ,“ lanjut Bunga.
“ Huh , aku malah malu padamu ! “ jawabku tulus .
“ Mengapa harus malu ? “
“ Selama ini aku sering memandang kematian sebagai pemisah kita dengan orang yang kita cintai . Aku sampai takut jika suatu hari nanti salah satu dari orang tuaku meninggal . Tapi , karenamu , aku tidak takut lagi . Karena tanpa kematian, kita –atau mungkin orang terdekat kita- tidak akan kembali padaNya . “
“ Sebelum ayahku meninggal, aku juga mengalami ketakutan yang sama . “
“ Ehm, maaf ya ? “
“ Sudahlah , tidak usah dipikirkan “
Tiba-tiba terdengarlah suara bel sekolah , menandakan bahwa kami semua harus masuk lagi ke dalam kelas 7 F . Aku pun membantu Bunga bangun dan kami bersama-sama menuju kelas .
Bunga tetap serius memperhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran . Seperti tidak ada beban dalam hatinya. Semuanya kembali seperti awal . Awal yang indah di pikiran Bunga. Ia sepertinya bukan pendendam . Malahan diriku yang masih menyimpan kesal pada anak laki-laki itu.
Beberapa jam kemudian , bel pulang sekolah pun berbunyi. Tibalah waktunya kami untuk pulang.
“ Bunga, aku antar ke rumahmu ya ? “
“ Eh , tidak usah repot-repot. Aku bisa pulang sendiri, walaupun kakiku ini pincang . “
“ Uh, bukan begitu maksudku . Baiklah , kalau begitu , aku saja yang berjalan kaki pulang bersamamu . “
“ Memangnya rumah mu satu jalur dengan rumah ku ? “
“ Iya , apakah aku boleh sekalian mampir ke rumah mu ? “
“ Jangan ! Putri Kraton sepertimu mana pantas datang ke rumah lakyat jelata sepertiku ? “
“ Mana bisa aku jadi putri yang baik bila tidak merakyat ? “
“ Ya sudah . Jika itu mau mu. Aku tidak bisa melarang permintaan seorang Putri Kraton . “
“ Jangan begitu , anggap saja kamu tidak bisa menolak permintaan sahabat mu . “
Kami saling melempar senyum . Kami pun berjalan bersama.
“ Cinde, aku tidak menyangka seorang putri yang cantik dan kaya raya sepertimu , memiliki hati yang cantik dan kaya juga .’
“ Sudah , tidak usah melebih-lebihkan. Oh , iya . Tolong jangan bocorkan identitas ku pada keluarga mu ya ? “
“Hmm.. Baiklah . Jika itu mau mu . Tidak masalah .“
Aku tersenyum lagi pada Bunga . Bunga membalasku dengan senyuman juga.
Sesampainya di rumah –yang sebenarnya tidak layak disebut rumah- Bunga , Bunga –tanpa sempat berganti seragam- langsung membuat layang –layang dari kertas yang biasanya dijual adik dan ibunya nya di sore hari . Aku pun membantunya . walaupun aku tidak bisa , tapi aku harus berusaha membuat layang-layang. Aku tidak ingin membuat Bunga kecewa.
Setelah ibu dan adik-adik Bunga pulang dari Berdagang es, aku berkenalan dengan ibu nya . Sepertinya aku tahu dari mana Bunga mendapat sikap tegarnya –ya, dari ibunya-
Di sana aku tahu banyak tentang Bunga dan keluarganya .
Ternyata sudah lama ayah Bunga meninggal . Sejak Bunga berusia 7 tahun . Sejak saat itu , ibunya sendiri yang merawat Bunga dan kedua adik perempuannya .
“ Saya tahu Bunga berbeda dari anak saya yang lain .Walaupun kakinya pincang, namun kepintaran dan sikapnya melebihi anak-anak seusianya. Saya sangat bersyukur memiliki Bunga . “
Tiba-tiba muncul perasaan malu di hatiku . Perasaan yang jarang aku rasakan . Mengapa semangat juang keluarga Bunga jauh melebihi semangat hidupku ? Aku juga sering merasa menjadi orang yang sengsara . Tapi jika dibanding keluarga Bunga ? Mereka memang keluarga yang harmonis . Tapi apakah keharmonisan bisa meghidupi mereka ? Aku memang orang kaya . Tapi apakah kekayaan dapat menggantikan kasih sayang orang tua ? Tidak .
Di keluarga Bunga , aku menemukan kasih sayang yang –kurasa- selama ini minim hadir di kehidupanku . . . . .
Akupun melihat ke arah jam tanganku .
“ Ya Tuhan , sudah jam 3 sore ! “
“ Ada apa, Nak ? “
“ Sepertinya saya harus pulang ,Bu ! Saya pulang dulu ya , Bu . “
“ Yo, Ngati-ati nggih ! (iya. Hati-hati ya )“
“ Nggih , Bu ! “
Akupun berpamitan pada Bunga yang masih sibuk membuat layang-layang , juga adiknya yang baru saja pulang dari warung depan . Dengan secepat kilat aku keluar dari sebuah pintu sempit dan menemui Pak Rudi –sekaligus mobilku- yang setia menunggu di depan rumah sempit Bunga .
“ Pak , Mangga bidal !( ayo pulang) “
“ Nggih , Ndoro Ayu “
Dengan cepat Pak Rudi tancap gas . Manyisakan asap debu di depan rumah Bunga .
Sesampainya di rumah , aku agak ragu melangkah . Sebenarnya tadi aku melewatkan les tari ku .
“ Aduh , kasihan guru tari ku . Dia harus menunggu ku sampai selarut ini , “ pikirku dalam hati .
Dengan ragu aku melangkah ke sebuah Pendapa tempat biasa aku les tari . Terlihatlah seorang wanita yang dengan anggunnya duduk di tepi Pendapa .
“ Sugeng Siyang , Bu ? “ Dengan lirih aku bertanya .
“ Sugeng Sonten , Ndara Ayu ! “
Ya Tuhan aku lupa sekarang jam tangan ku sudah menunjukkan angka 04.30 !
Aku pun duduk di samping wanita itu .
“ Ndara , apa Ndara lupa jadwal kita siang ini ? “
“ Iya , sejujurnya saya lupa . Maafkan saya , Bu ,” kini aku berkata dengan lebih tenang .
“ Ndara Ayu jangan meminta maaf pada saya . Minta maaflah pada teman-teman Ndara yang telah lama menunggu tanpa menghasilkan apa-apa .”
Mendengar hal itu , aku merasa sangat malu .
“ Tapi dimana mereka ? “
“ Mereka sudah pulang dari tadi . Besuk saja meminta maafnya . Bagaimana Ndara , apa saya jadi mengajari Ndara menari ? “
“ Tidak usah , Bu . Sepertinya Ibu telah lelah karena lama menunggu saya . Lebih baik Ibu pulang saja . “
“ Tapi Ndara , bagaimana jika Kanjeng marah ? “
“ Tenang saja, saya yang akan menanggungnya . Silahkan beristirahatlah . Kita lanjutkan lagi minggu depan .“
Benar saja , apa yang dikatakan guru les tari ku berbuah kenyataan . Malamnya , melalui telepon , Rama marah padaku .
“ Cinde,Cinde untuk apa kamu melakukan hal itu , Nok? (Denok adalah panggilan kesayangan untuk anak perempuan) Tradisi menari adalah yang terpenting untuk seorang Putri , dapat melatih keanggunan da kelemah-lembutan seorang Putri ! Jangan kamu abaikan ! “
“ Nyuwun pangapunten (maaf) Rama , Kula kesupen (saya lupa ), “
“ Yo, ora papa ! (Ya , tidak mengapa) Jangan diulang lagi ! “
“ Nggih , Rama “
Setelah Rama menutup teleponnya , akupun terlelap .
Beberapa bulan setelahnya , Rama pulang . Aku sangat bahagia . Tapi suatu hari , sesudah bel pulang ,
“ Bunga Maharani , silahkan pergi ke ruang TU . “ kata wali kelas kami.
Dengan tertatih-tatih , Bunga pergi ke ruang TU . Aku menunggu di luar .
Setelah Bunga keluar , aku bertanya apa yang sedang terjadi .
“ Ada apa Bunga ? “
“ Tidak mengapa .”
Tapi, muka Bunga yang semula riang berubah murung setelah keluar dari ruang TU .
“ Mulut mungkin bisa berbohong , tapi rupa tak bisa menutup kegundahan hati’ , itu yang selalu Ibuku katakan saat aku mempunyai masalah yang tidak bisa kuungkapkan . Apa kamu tidak mau membaginya denganku ? Mengapa ? “
Bunga menggelengkan kepala .
Dari situ aku tahu ia tidak baik-baik saja .
“ Cinde , aku pulang dulu , ya ? “
“ Iya , Bunga . Hati-hati di jalan , ya ? “
Dengan tertatih-tatih Bunga meninggalkanku yang penuh tanda tanya ini .
Lalu , akupun mendapat ide . Aku langsung masuk ke ruang TU dan menanyakan masalah Bunga . Setelah agak lama meyakinkan pegawai TU bahwa aku tidak akan membocorkan masalah Bunga , akhirnya pegawai TU memberitahu bahwa SPP Bunga sudah nunggak selama 3 bulan.
Ya Tuhan , aku tidak percaya ! Prestasi Bunga yang selama ini luar diasa di kelas terhambat oleh masalah SPP .
Setelah pulang , aku menuju kamar tidurku . Di sana aku memutar otak agar Bunga bisa terbebas dari masalah SPP .
“ Oh iya , sepertinya aku mempunyai uang simpanan yang cukup banyak . Aku bisa membantu Bunga dengan itu . “
Aku pun mengeluarkan semua tabunganku .
“ Tapi , sepertinya kurang !Tidak mungkin aku minta uang pada Rama !Aku harus bekerja ! “
Akupun melihat ke sekeliling .
“ Iya ! Aku akan menjual kalung-kalungku !”
Esoknya , aku mulai menjual kalung –kalungku . Walau banyak ejekan dari teman-temanku , tapi tak sedikit yang mau membeli kalung-kalungku . Syukurlah !
Tak terasa sudah seminggu lebih aku menjual kalung-kalungku –tentu saja tanpa diketahui Bunga- Akhirnya , terkumpul sudah semua uang yang aku butuhkan .
Keesokan harinya , sesampainya di sekolah , aku langsung pergi ke Ruang TU . Aku pun membayar SPP Bunga .
“ Tapi , Nak , pembayaran SPP tidak bisa diwakilkan ! “
“ Bukan begitu , Bu . Tadi Bunga ada tugas , untuk itu , ia meminta saya untuk membayarkan SPP nya . “
“ Oh , ya sudah . Katakan pada Bunga , lain kali ia harus datang ke sini sendiri ! “
Aku pun tersenyum simpul . Berbohong sedikit tak apa lah .
Beberapa hari kemudian , Bunga menemuiku yang sedang membaca buku di kursi taman .
“ Apa maksudmu , Cinde ? Aku tidak butuh hal seperti ini ! “
“ Ada apa , Bunga ?”
Bunga pun menangis .
“ Kamu tidak perlu melakukan hal seperti ini ! Aku sudah terlalu banyak menyusahkanmu . “
“ Sudahlah , Bunga . Aku sama sekali tidak keberatan . Yang penting kamu dapat melaksanakan UAS dengan baik . Dan menjadi juara seperti semester yang lalu ! “
Bunga menatapku . Matanya masih berkaca-kaca . Kami pun berpelukan .
“ Terimakasih untuk semuanya , Cinde ! “
“ Terimakasih pula karena telah membuka mata hatiku akan makna kehidupan . “
Bunga pun berjanji akan membantuku belajar . Aku sangat senang bisa belajar bersama sahabatku . Akhirnya , UAS yang selalu aku perbincangkan dengan Bunga pun datang .
******
Bulan Juli !
Senangnya bisa menghirup udara segar kebebasan . UAS telah selesai . Aku pun lega bisa menjadi juara 2 kelas –tentunya dibawah Bunga yang menjadi juara 1 kelas-
“ Tapi , sepertinya aku melupakan sesuatu . “
Aku pun mengecek kalender yang berdiri di samping tempat tidurku .
“ Ya Tuhan ! Tanggal 12 minggu depan Bunga berulang tahun ! Apa yang akan aku berikan untuk sahabatku ini ? “
Aku pun melihat ke luar jendela .
“ Aku baru sadar Kraton sangatlah indah . Em , bagaimana jika Bunga datang ke Kraton ? Ya ! Aku akan mengajak Bunga ke sini ! Ke Kraton ! “
Dengan segera aku turun dari tempat tidurku dan pergi ke pendapa Rama. Untungnya , saat itu Rama dan Ibu sudah pulang .
Aku pun duduk di samping mereka . Walau ragu-ragu, aku memberanikan diri untuk menyampaikan maksudku .
“ Tapi , kita harus minta izin pada Kanjeng Ratu(Bahasa Indonesia ; Raja), Nok ! “ kata Ibu .
“ Baik , Rama akan minta izin pada Kanjeng Ratu , “ sambung Rama .
Esoknya , Rama yang -sudah pergi lagi- meneleponku , dan mengatakan bahwa aku boleh membawa Bunga ke Kraton , asalkan tidak mengganggu .
Satu minggu kemudian , aku mengajak Bunga dan ibunya ke Kraton . Bunga pun menerima ajakan ku . Sesampainya di Kraton .
“ Wah , besar sekali istana ini ! Warga sekampung bisa tinggal di sini ! “
“ Ibu ! Jangan begitu , ah !Jadi tidak enak sama Cinde ! “
“ Maaf , Cinde ! “ pinta Ibu Bunga -yang dari tadi terkagum-kagum- padaku .
“Sudahlah , tidak apa-apa !” jawabku .
Akhirnya kami sampai di taman Kraton . Di sana Rama dan Ibu sudah menunggu dengan kue coklat besar bertuliskan ‘ Selamat Ulang Tahun ‘ .
Ibu Bunga kaget dan langsung bersujud pada Rama .
“ Aduh , sudah tidak usah ! “ Rama dan Ibu mengingatkan
“ Terimakasih sekali sudah mau mengundang kami , Kanjeng !”
“ Seharusnya kami yang berterima kasih , karena anda dan Bunga sudah mau menemani Cinde di saat kami pergi . “ kata Ibu .
“ Tidak , Kanjeng ! Kami tidak pantas ! “
“ Sudahlah . Janganlah menggunakan status untuk mengatakan satu tidak pantas dengan yang lain . Karena sesungguhnya kita semua sama di mata Yang Empunya . “ kata Rama .
“ Baiklah Bunga , tiuplah lilin ulang tahunmu ! “ pinta Ibu .
Bunga yang gemetaran itu pun meniup lilin ulang tahunnya . Kami semua bertepuk tangan .
“ Nah , Bunga , kami punya sesuatu untukmu ! “ seruku sambil menyodorkan sebuah bingkisan besar .
Bunga pun membuka bingkisan itu , Betapa terkejutnya ia mengetahui isi bingkisan itu adalah sepasang kaki palsu .
“ Untungnya ukuran kaki kita sama , Bunga ! Sehingga bisa mengukur besarnya dengan kakiku ! “
Bunga dan Ibunya pun menangis . Aku merangkul Bunga sementara Ibu memeluk Ibu Bunga .
“ Sudah , tidak usah menangis , Bunga . Sudah sepantasnya aku membantu sahabatku ! “
“ Terimakasih , sahabat ! “
Sejak saat itu , Bunga selalu memakai kaki palsunya , jalannya pun semakin tegap . Ia tambah yakin menatap masa depan . Prestasinya pun tidak lagi terhalang oleh masalah biaya karena ia mendapat beasiswa.
Sementara aku , aku tidak kesepian lagi karena ada Ibu Bunga yang mau memberikanku kasih sayang selama Rama dan Ibu pergi .
Benar-benar peristiwa yang tidak terbayangkan olehku , di mana seorang putri Kraton dapat melebur dengan rakyat jelata . Aku tahu , status tidak dapat mengukur kebaikan dan keburukan kita.
Aku bersyukur , dapat bertemu dengan sahabat seperti Bunga . Ia dapat menuntunku ke mutiara kehidupan . Mutiara yang selama ini aku cari . Sampai saat ini aku masih bersahabat dengan Bunga.
Dan berangan kami dapat lebih banyak menemukan mutiara kehidupan
“ Tidak semua yang jelek itu buruk ataupun yang asri itu indah …” –penulis-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar