Seekor burung gelatik bertengger di atas ranting, melihat keliling lalu menetapkan pandang di sebuah danau biru.
Kupu-kupu di sudut utara melihatnya, lalu ikut bertengger di sisi burung gelatik hijau.
"Apa yang kau lihat?" tanya kupu bercorak pelangi pada burung di sampingnya.
"Pemandangan," jawab burung singkat.
"Ah, apa indahnya?" tanya kupu sambil meletakkan pandang ke area sebelah danau.
"Masa seperti itu kurang indah?" jawab burung kebingungan.
"Lihat deh, tidak ada binatang yang mau mampir ke sana. Paling hanya binatang pemangsa yang betah tinggal di sana," timpal kupu-kupu.
"Pemandangan secantik itu, masak kamu bilang buruk?" balas gelatik.
"Coba lihat tanahnya. Gambut, tidak ada tumbuhan yang bisa tumbuh di situ. Seleramu kadang aneh ya, burung!" seru kupu-kupu.
Mendengar perkataan kupu-kupu, si gelatik tersenyum kecil.
"Dari tadi aku memandangi danau," jawab gelatik.
"Oh, aku kira kamu memandangi rawa-rawa," balas kupu-kupu.
"Arah pandangnya sama, tapi yang dilihat ternyata beda," kata gelatik sambil mengepakkan sayapnya lalu tertawa kecil. Ia beranjak dari ranting tempatnya bertengger dan berkata, "Sudah ah, kupu-kupu.. kamu menggangguku bersantai saja,"
**
Terkadang kita mengomentari suatu hal dengan perspektif yang kita miliki, entah itu benar atau salah. Bahkan tak jarang, tanpa dimintai pendapatpun kita memberi komentar yang negatif. Kita bertindak layaknya kupu-kupu yang mengasumsikan sesuatu tanpa konfirmasi, "Yang penting aku yakin pada pendapatku, terserah kamu bilang apa,"
Tak jarang munculnya pendapat kita didasari oleh egoisme personal, tanpa peduli dengan kepentingan bersama. Sering pula kata-kata yang kita lontarkan saat mengomentari sesuatu, didasari oleh sentimen personal, "Aku ga peduli, yang penting kata-kataku berseberangan sama pendapatnya,"
Atau bisa jadi, komentar kita tidak didasari oleh fakta-fakta dan hanya didasarkan oleh asumsi, "Aku enggak tahu sih, kata-kataku ini benar atau enggak. Cuma aku tetep ngomong biar kelihatan keren aja,"
Hal-hal yang kita lontarkan, semuanya bergantung pada perspektif yang kita gunakan. Lalu perspektif mana yang benar? Tentunya, untuk menjadi seseorang yang bijak, kita tidak hanya bergantung pada satu perspektif. Dibutuhkan perspektif-perspektif lain yang saling menopang untuk menyusun satu gambaran luas mengenai suatu peristiwa. Dibutuhkan pula banyak pandangan untuk dapat menghasilkan pendapat yang mengakomodasi banyak pihak, sehingga menghasilkan keputusan yang paling baik. Keputusan yang kita yakini adalah baik jika dibandingkan dengan pilihan lain.
Jadi, masih menganggap bahwa perspektifmu yang paling hebat?
Dan sayangnya itu yang sekarang tidak ada toleransinya lagi
BalasHapusTIdak ada rasa ingin mengerti cara pandang orang lain
Serba egois, cara pandangnya saja yang benar
yang lain salah
yang lain tidak benar
Padahal kan belum tentu..
Sad..
Betul, kita yg masih berakal sehat harus lebih "ngemong" saat menghadapi persoalan yg seperti ini
Hapus