Senin, 07 Maret 2011

Cerpen ke 4 ku, originally by me

PERTALIAN JULI

“Kara janji sama Juli kalau bakal selalu jadi sahabat Juli?” dia bertanya padaku. Dari sorot matanya terlihat Ia berharap aku menjawab “Ya”

“Iya, Kara janji. Kara gak akan ninggalin Juli kok”

“Kalau Juli mati? Kara bakal ikut Juli?”

“Ah, kamu aneh-aneh aja deh, Juli!”

“Kara, Juli serius!”

“Iya deh, pokoknya ke manapun Juli pergi, Kara bakal ikut!”

“Akan kutagih janjimu, tengah malam 12 Juli. Ikutlah denganku”

Sontak kubuka mataku. Ingin rasanya terbebas dari kenangan itu. Terengah-engah aku, bagai terkejar masalalu. Mimpi yang sama datang lagi. Mimpi yang selalu datang di Bulan Juli. Ya Tuhan, apa salahku? Mengapa bayangan Juli selalu menghantui hidupku? Air matapun menetes, ingin rasanya aku memeluk sesuatu, tapi hampa. Aku menarik selimut takut kalau-kalau mati beku di dinginnya malam dan suasana yang mencekam itu.

Pagi yang indah, sejenak melupakan malam kemarin. Bagaimanapun aku harus tetap melanjutkan hidup. Juli hanyalah sebuah masalalu. Kulihat sebuah pigura usang, berwarna coklat kemerah-merahan yang berselimut debu. Kusapukan telunjukku, membersihkan citra diriku dan gadis kecil itu. Terkenang masa indah kami, saat di mana kami tertawa bersama, saling membasuh air mata, bahkan melakukan kegiatan yang banyak orang menganggapnya konyol. Aku rindu Ju…Ah, aku tak bisa menyebut nama itu. Terlalu takut aku pada kenangan suram. Seandainya aku bisa, aku ingin hilang ingatan! Melupakan gadis manis sahabatku itu. Melupakan semua tentang dia-tentang kami.

*

20 Juni 1998

Kulihat anak manis itu. Walau dari kejauhan, tetap saja wajahnya terlihat manis. Ayah menarikku dan mengajakku menyusuri lorong gelap. Dipandu oleh seorang wanita tua, Ia mengajak kami berkeliling. Puluhan wajah, dari anak yang sebaya, lebih tua, lebih muda. Hanya itu pemandangan yang terlihat. Mereka melihatku dengan beragam ekspresi, ada yang menantang, memelas hingga yang terlihat tanpa ekspresi. Aku mulai bosan.

“Kayak milih baju aja, Yah?”

“Kara, kita sudah pernah membahasnya kan? Ayah rasa kamu perlu seorang saudara yang kelak akan menjagamu, saat Ayah dan Bunda sudah tidak bisa lagi menjaga kamu”

“Kenapa Ayah dan Bunda gak punya bayi lagi aja?”

“Kara, Ayah sudah bilang kan berkali-kali? Jangan buat Ayah harus mengulangnya lagi! Bunda terkena penyakit yang membuat rahimnya lemah…” sebelum Ayah melanjutkan kata-katanya, aku sudah menyautnya.

“Dan tidak memungkinkan untuk mempunyai bayi lagi. Kara tahu, tapi Kara tetep gak mau punya saudara tiri!”

Ayah memelototiku. Mukanya merah padam, entah mengapa aku dapat membaca pikirnya-ia ingin menampar paras kecilku. Aku pun tertunduk. Ingin menangis, seperti ada sesuatu yang mengganjal mataku, memenuhi pelupuk mata dan terjatuh menyusuri pipiku. Beberapa detik kemudian, Ayah membiarkan tangannya jatuh di kepalaku, mengelusnya dengan lembut.

“Ayah paham perasaan Kara, tapi coba Kara paham juga dengan perasaan Ayah? Sekarang, ayo kita berkeliling lagi”

“Gak, gak Yah.. Kara udah nemuin calon saudara Kara, itu..” jawabku terbata-bata sambil menunjuk pada seorang gadis manis yang memandang dari jauh.

“Kara yakin?” Aku mengangguk. Terpaksa menyenangkan hati Ayah. Ternyata tak telalu sulit. Persis seperti yang aku bayangkan-Seperti membeli sebuah baju saja. Tinggal memilih-milih, langsung dapat. Ayah menyuruhku berkenalan dengan anak itu, ditinggalnya kami berdua di bangku dekat. Tapi aku membisu, tak sudi mengenalnya. Ia mengulurkan tangan dan menyapa,

“Aku Juli, kamu Kara ya? Nama yang bagus” ia menatapku sambil menyunggingkan senyum. Tapi aku menurunkan pandang, tetap beku. Sadar gayung tak bersambut, ia pun menurunkan tangannya. Ya, lebih baik begitu. Lebih baik ia diam dan meninggalkanku bersenang-senang dengan angan yang melayang entah kemana.

19 Maret 1999

Setahun sudah Juli menjadi pewarna di kehidupan kami. Ayah dan Bunda menyayanginya. Dia hidup bagai Putri Jasmine yang manis dan dicintai orangtuanya-orangtuaku tepatnya! Tapi aku di sini, bagai saudara tiri Cinderella yang jahat. Begitu kira-kira anggapan orangtuaku padaku. Mereka menganggap aku tak bisa menerima Juli. Memang aku tak bisa menerimanya. Apa yang mereka harap dari seorang anak kecil berusia 10 tahun? Senyum manis untuk menutupi kebencian hati? Kata-kata Ayah membuyarkan lamunanku yang saat itu sedang terduduk sendiri.

“Wah, Ayah jadi bingung, antara Kara dan Juli mana yang lebih tua? Usia kalian sama, hanya berbeda 4 Bulan, Kara Februari dan Juli di Bulan Juli”

“Ah, Ayah nih ada-ada saja. Tentu tua Kara lah..” sahut Bunda

“Tapi mengapa terlihat lebih dewasa Juli ya?” Mendengar hal itu, emosiku mencapai ubun-ubun. Aku pun bangun dari dudukku dan pergi melewati keluarga bahagia itu! Ya, keluarga yang bahagia tanpaku! Kubanting pintu jati yang menjadi pemisah antara kami. Aku pun menangis tersedu-sedu. Kulempar tubuhku yang mungil ke atas kasur yang berselimut seprai merah muda. Kubenamkan kepala. Hanya teddy bear kecil yang menemaniku. Sepi, hanya terdengar isakan tangis. Aku terus berpikir, mungkin Ayah dan Bunda tak membutuhkanku lagi. Mereka telah memiliki seorang Juli, Julia Subroto! Ia telah memiliki nama keluarga kami, ia telah diterima. Sedangkan perlahan aku mulai terbuang. Juli yang dewasa, Juli yang manis, Juli yang…. Ah, aku lelah untuk memikirkannya. Perlahan kututup mataku. Beratnya kepala menuntunku untuk terlelap. Sejenak melupakan keterbuanganku.

“Kara…” terdengar suara lembut yang tak asing lagi. Membangunkanku dari kegelapan. Kubuka mataku yang lengket. Tak mau terbuka memang, tapi kupaksakan diri. Tercengang aku melihat anak itu, Juli. Aku pun membuang muka. Kembali terbenam di bantal merah muda yang dingin.

“Juli tahu, Kara memang gak bisa nerima Juli sebagai adik Kara, tapi, kenapa Kara gak nyoba buat nerima Juli jadi sahabat Kara?” Aku terdiam. Malas untuk menjawabnya.

“Kara harus tahu, Juli sayang sama Kara..” Aku ingin menjawabnya dengan umpatan! Tapi mendengar isakan tangisnya, aku mengurungkan niat.

“Udahlah, Kara capek. Lagipula ini udah jam 10 malam. Juli tidur aja dulu,” kataku sembari melirik ke arah jam dinding berbentuk hati. Juli pun menuruti dan membaringkan diri ke sampingku. Kami memang tidur sekamar, sekasur pula. Kadang aku lelah untuk membencinya. Aku merasa ia tak layak dibenci karna kebaikan hatinya. Tapi, selama ini aku terus saja menuruti setan dalam benak. Oh Tuhan, mungkin ini saatnya aku harus menerimanya. Aku harus menerimanya sebagai sahabat, seperti yang ia katakan tadi. Hatiku tak tega melihat tatapan sedih Bunda saat menceramahi sikapku pada Juli. Malaikat yang masih tersisa di hati juga terus mencoba meluluhkan hatiku.

“Juli, kamu masih bangun?” tanyaku ragu-ragu. “Masih, kenapa, Kar?” jawabnya.

“Aku mau nerima kamu sebagai sahabatku, tapi, gak bisa lebih…” Mendengar jawaban itu, Juli langsung terbangun dan memelukku. “Makasih ya, Kara. Juli bakal nyoba buat jadi sahabat Kara yang baik..” Aku pun tersenyum, kulepaskan pelukannya dan mengangguk. Kami pun tertidur, perasaan lega dan bahagia menuntunku pada mimpi indah, lebih indah dari yang pernah kualami sebelumnya.

30 Desember 2001

Persahabatanku dan Juli semakin erat. Tak jarang ia bercerita padaku tentang permasalahan yang dihadapinya, tentu aku setia mendengarkan ceritanya. Begitu pula sebaliknya. Melihat perubahan sikapku, Ayah dan Bunda semakin menyayangi kami berdua. Sekarang aku bukan saudara tiri Cinderella lagi, aku sudah menjadiadalah sahabat Putri Jasmine. Ke mana pun aku pergi, Juli setia menemani, di mana pun Juli berada, selalu ada aku. Sampai pada suatu siang, kami berdua bersepeda mengelilingi taman. Selagi libur, kami berusaha menghibur diri, melupakan kepenatan sekolah. Aku menaiki sepeda merah jambu favoritku dan Juli menaiki sepeda ungunya. Awalnya semua baik-baik saja, sampai akhirnya kami menyusuri jalan yang curam. Sepedaku melaju dengan cepat, cepat sekali. Kurasakan angin menembus wajahku, rambutku melambai dengan ganasnya. Aku mulai panik! Kuraih rem sepedaku, ku genggam dengan erat. Tapi nihil, tiada hasil. Sepeda merah jambu itu tetap saja melaju menantang angin. Tanganku mati rasa, terkalahkan oleh gemuruh jantung yang meraung-raung. Ingin menangis dan berteriak, tapi aku sadar, hal itu tiada guna. Batang pohon jati dengan tegaknya menampakkan kegagahannya padaku. Pikiranku buyar, aku tahu yang akan terjadi. Beberapa detik kemudian, kurasakan badanku terpelanting. Aku pun kehilangan kesadaran. Sayup-sayup kudengar teriakan Juli. Kurasakan tangannya yang hangat menopang kepalaku. Tapi kini bukan hanya kepalaku saja yang ia topang, melainkan seluruh badanku. Pandanganku gelap, tapi aku tahu jika Juli berusaha menggendongku. Ia sempat terjatuh beberapa kali dan akhirnya sadar jika tubuhnya yang mungil tak mungkin dapat menggendong tubuhku yang memang berisi. Akhirnya ia hanya memapahku. Bisa kurasakan tetesan darah mengalir di pipiku. Pening itu menjadi saat aku mencoba berjalan, lemas rasanya. Sepertinya aku pingsan untuk beberapa saat, tapi masih bisa merasakan pelukan Juli yang hangat. Mungkin jika tidak ada Juli aku sudah kehabisan darah, mungkin akan berakhir dengan deraian air mata orang tuaku, mungkin aku akan menyusul anjingku yang mati seminggu lalu. Mungkin, dan mungkin. Tapi aku bersyukur karena ada Juli. Sahabat yang aku sayangi. Trimakasih Juli, tak akan kulupakan kebaikanmu ini!

12 Juli 2005

Hari ini Juli berulang tahun. Tepat jam 12 tengah malam, Ayah dan Bunda membangunkanku. Mereka mengajakku pergi ke kamar Juli. Memang aku dan Juli tidak sekamar lagi. Kami terlalu besar untuk berbagi kasur. Dengan mengendap-endap dan terselubung gelapnya malam, Ayah membuka pintu kamar Juli. Aku yang bertugas membawa kue tart bertahta lilin berbentuk angka satu dan lima, tak sabar untuk melihat ekspresi wajah Juli. Tanpa disangka Juli sudah terbangun dan menorehkan senyum pada kami. “Trimakasih” ketanya dengan suara yang agak serak. Kami pun memeluknya dan menyuruh Juli melakukan hal yang biasa dilakukan orang yang berulang tahun. Make a wish. Setelah sejenak memejamkan mata ia meniup lilin dan padamlah apinya. Kami pun tersenyum dan kembali meneruskan mimpi kami yang sempat terpotong beberapa saat

******

Aku tidak menyangka umur Ayah dan Bunda sesingkat ini. Saat mereka hendak merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ke 20, kecelakaan tragis merenggut mereka berdua dariku, dari Juli ! Rasanya bagian hidupku menghitam dan runtuh. Sehitam pakaian pelayat yang silih berganti datang . Mereka memelukku dan Juli. Berderai air mata. Parfum mahony yang tercium mengingatkanku pada Bunda.. Bunda, apa yang harus kami lakukan? Juli hanya sibuk mengurung diri, aku mengerti, ia sama denganku. Kehilangan separuh jiwanya. Tak bisa lama begini akupun mengetuk pintu jati berpelitur yang telah diukir dengan indahnya. Pintu pemisah antara aku dan Juli. Tak sabar menunggu, tanpa permisi kubuka pintu jati itu. Tak seorang pun kujumpai.

“Kara janji sama Juli kalau bakal selalu jadi sahabat Juli?” dia bertanya padaku. Aku tersentak, kupalingkan tubuh. Dari sorot matanya terlihat kalau Ia berharap aku menjawab “Ya”

Dengan ragu-ragu aku menjawab “I..Iya, Kara janji. Kara gak akan ninggalin Juli kok”

“Kalau Juli mati? Kara bakal ikut Juli?”

“Ah, kamu aneh-aneh aja deh, Juli!” Apa Juli mendadak depresi? Tuhan, sekujur tubuhku mati rasa. Kulihat gadis itu, gadis yang biasanya terlihat anggun dan rapi berubah layaknya gembel di emperan toko.

Dia maju, memelototiku dan berkata, “Kara, Juli serius!” Aku mulai melangkah mundur. Ada apa dengan anak ini? Tangannya meraih tanganku, mencengkramnya dengan ganas, tak luluh melihat deraian air mataku.

“Iya deh, pokoknya ke manapun Juli pergi, Kara bakal ikut!” Jawabku tersedu-sedu. Ia pun memelukku erat. Hampir sesak napas aku dibuatnya.

“Cuma Kara yang Juli punya.. Jangan tinggalin Juli” Ia pun mengambil serpihan kaca yang terletak di atas meja rias pink dan menggoreskan di telunjuknya, aku sendiri bingung darimana ia memperolehnya. Setelah itu ia menggenggam tanganku lagi dan menggores telunjukku, lalu menempelkan ke telunjuknya secara paksa.

“Aduh !’ teriakku. “Dua darah bersatu, dua kehidupan jadi satu, dua jiwa tak dapat dipisahkan” Aku pun meronta. Setelah terlepas aku berlari, meninggalkan Juli yang tersenyum licik.

Tengah malam

Aku tidak bisa tidur. Bukan insomnia, tapi karena kegelisahanku. Kelakuan Juli membuatku merasa terancam. Aku takut Juli akan menyakitiku. Kuputuskan untuk pergi ke kamar Paman Rudi, adik Ayah. Ia memang bertugas untuk menjagaku dan Juli sementara waktu. Aku ingat dia berkata bersedia mengangkatku menjadi anaknya. Aku ingin ia membawaku jauh ke Manado, jauh dari Juli.

“Kamu yakin?”

“Iya Paman, aku takut sama Juli. Pokoknya pisahin aku dari dia!” Ucapku berderai air mata. Paman memelukku, “Emang ada apa dengan Juli?”

“Juli udah mulai gila, Paman! Aku mohon, cepat bawa aku pergi dari rumah ini!”

13 Juli 2005

Tiket pesawat dipesan. Pagi-pagi buta aku dan Paman Rudi bergegas menuju ke Bandara. Meninggalkan Juli yang masih tertidur lelap.

Pesawat hampir lepas landas.

“Paman, Juli akan baik-baik saja kan?”

“Paman gak yakin bila dia tanpa kamu.. Belum terlambat, Kara. Walau bagaimanapun kalian adalah keluarga. Menghadapi masalah harus bersama-sama. Saling menguatkan jangan meninggalkan.” Aku terdiam. “Kamu sudah 15 tahun, jangan bertindak kekanak-anakan”

“Aku kira Paman mengerti..”

“Paman sangat mengerti keadaanmu Kar, kamu masih terombang-ambing. Jangan sampai kamu menyesal telah meninggalkan keluargamu satu-satunya.”ucapnya. “Keluargaku sudah mati..” Paman terdiam. Ia katupkan bibirnya. Melotot melihat gadis 15 tahun ini berbicara. Kupalingkan wajah menerawang ke luar, tak mempedulikan pria yang 18 tahun lebih tua dariku itu keheranan dan menggelengkan kepala.

Kulihat sinar membias kebeningan yang indahnya tak dapat dijelaskan. Seperti aku menjelma menjadi manusia tak berotak. Tak bisa menjelaskan apapun lagi. Tak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan sekarang, tak bisa berbuat apapun. Suara bising pesawat membuyarkan lamunanku. Aku pun menutup mata. Selamat tinggal Juli, selamat tinggal masa lalu..

6 bulan kemudian

Aku tidak ingin mendengar apapun tentang Juli. Telepon darinya tak kuangkat. Surat darinya tak kubalas. Aku adalah anak sebatang kara yang telah mati. Kehilangan segalanya. Keluarga Paman Rudi baik padaku. Bahkan sangat baik. Tante Vero- Bunda angkatku memberikan sentuhan kasih sayang lebih dari yang aku butuhkan. Tapi aku membalasnya dengan senyuman hambar. Memang aku hanyalah saudara tiri Cinderella. Dimana pun akan selalu begitu. Tapi aku tidak ingin mengecewakan mereka. Terbukti aku ranking di kelasku. Aku pun berusaha untuk selalu sopan pada mereka. Walau begitu perkembangan emosionalku di bawah rata-rata. Setiap ada lelaki yang mendekat, kutolak. Ada yang ingin menjadi sahabatku, kutolak juga. Aku selalu berkata “Aku tidak punya apa-apa untuk kalian. Pergi saja.” Dan selalu berhasil. Mereka pergi dengan mudahnya. Tapi satu hal yang bisa membuatku tersenyum. Anak Paman Rudi dan tante Vero, Ronal. Ia lucu dan menggemaskan. Anak kecil yang mempunyai mata mirip seperti Ayah. Mata coklat kehitaman yang bersinar di bawah cahaya. Hangat, menusuk kalbu. Mengingatkanku pada semua kenangan tentang Ayah.

Telepon berdering. Pasti itu dari Juli. Aku pun membenamkan wajah di atas bantal garis biru keabu-abuan. Mendengar deringannya saja membuatku ingin membanting telepon itu. Muak rasanya. Untunglah segera berhenti berdering. Aku pun mulai membuka lembar buku yang tadi kubaca. Harus mengumpulkan konsentrasi lagi agar dapat menyerap intinya.

“Kara, keluar nak!” teriak Tante Vero (Semenjak menginjakkan kaki di Manado aku tidak mau dipanggil Kara lagi) Fiuh, ada apa ini? Dengan malas aku turun dari kasur empuk istanaku, meraih sandal kelinci bulu dan menapakkan kaki menuju ruang tamu. “Bunda, kenapa?” Ia pun menyodorkan telepon listrik itu padaku. Dengan heran aku menatap keduanya. “Terima saja teleponnya. Ini penting.”

“Halo?” Aku bertanya dengan nada penuh keheranan.

“Kara.. Ini Ayah Rudi. Ayah baru saja menerima telepon dari Jakarta. Juli.. Juli...”

“Juli lagi! Udah Ayah, Kara capek!” bentakku “Juli meninggal... gantung diri”

“A... apa? Ayah, gak lucu!” Tidak kudengar balasan. Hampa dan kosong. Kurasakan hal itu lagi. Sepertinya ada yang direnggut dariku. Air mata pun menetes. Kulepaskan genggaman dan terjatuh. Isakanku semakin kencang. Kurasakan sesuatu memelukku. Terngiang kejadian di taman beberapa tahun silam. Saat Juli memeluk dan memapahku. Rasanya sama. Kubuka mata dan terlihat tubuh kecil Ronal. Aku tahu aku salah. Semua yang aku lakukan 6 bulan ini salah. Salah ketika aku meninggalkan Juli di Bandara. Salah ketika aku mengira Juli gila. Salah!

29 Desember 2005

Keesokan harinya aku menerima paket. Saat kubuka ternyata amplop coklat muda bergambar burung itu berisi buku harian Juli. Aku membacanya satu-persatu. Mulai dari 13 Juli 2005.

“...Teriknya sang surya membangunkanku. Entah mengapa aku rindu pada saudaraku itu. Aku telah mengikat pertalian dengannya. Pertalian darah yang takkan terpisahkan oleh apapun. Tapi dimana dia? Aku tak menemukan jejak langkahnya. Atau parfum mahony yang akhir-akhir ini sering dipakainya, untuk mengenang Bunda mungkin? Tapi dimana dia, dimana....?!”

Seperti yang aku perkirakan sebelumnya. Buku hariannya hanya berisi penyesalan dan permohonan maaf atas perbuatan bodohnya padaku di malam 12 Juli itu. Aku ngeri melihat tulisannya. Aku benar-benar telah membuatnya gila. Buku hariannya hanya berisi umpatan dan cacian. Padaku, bahkan pada Ayah dan Bunda. Tapi aku sadar, ini semua salahku... Sampai pada halaman terakhir, di hari ia bunuh diri. 12 Desember 2005.

“...Aku sudah mati. Tanpa aku sadar pun aku mati. Tanpa aku harus kehilangan nyawa pun aku mati. Tamat sudah. Untuk apa diteruskan? Aku tak mempunyai siapa-siapa lagi. Saudara yang sudah bertalian darah denganku pun meninggalkanku. Tuhan pun menutup telinga-Nya untukku. Untuk apa diteruskan lagi? Tapi Kara.. Kara Yosevina, kamu akan menyesal karena membuatku begini. Ingat saja, aku akan selalu datang di Bulan Juli. Juli akan selalu meng..han...tui..mu!...”

Sret. Kututup buku harian itu.

*****

Perawan rembulan datang, gantikan si Empunya Siang. Aku termenung dalam lautan, membiarkan raga terbenam. Tenggelam. Aku tidak mau tidur. Takut aku, malam ini dia pasti datang, menjemputku. Tengah malam tanggal 12 bulan Juli, waktu yang tepat bukan? Kamu mana Juli? Takutkah kamu padaku?

Aku sadar, pertalian Juli akan membunuhku. Janji itu telah terucap, darah terlanjur menyatu, dan aku sudah tenggelam dalam pekat malam. Aku telah mati sebelum ini, ya, hatiku mati. Juli merenggutnya tiap malam, sedikit demi sedikit mimpi itu mencabut nafas hidupku, siapa yang tahan hidup dalam cekaman? Lebih baik ambil aku sekarang Juli! Aku ingin bertemu ayah dan ibu. Aku ingin bertemu Sang Hyang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar