SINDHEN TROTOAR
Karya : Elisabeth Hilda
"Ilir-ilir, ilir-ilir ..
Tandure wus sumilir.
Tak ijo royo-royo , tak sengguh temanten anyar .."
Sayup-sayup kudengar suara merdu si wanita. Di tengah redupnya lentera merah, kucoba tuk terlelap. Melepas semua penat dan membawaku ke surga kecilku.
****
"Ndhuk , ayo tangi ! -Nak , ayo bangun !" seruku.
Anak gadis ini, susah sekali dibangunkan ? Padahal jam sudah menunjukkan pukul 3 pagi. Bisa-bisa dia terlambat. Kudengar suara lirihnya menjawab, menandakan dia tlah berhasil mengumpulkan kesadarannya. Kusiapkan bekal untuknya, bekal yang kubuat penuh kasih sayang. Berharap ia pun akan memberi kasih sayang yang sama pula untuk sesamanya. Tak kusangka, Nawang sudah sebesar ini. Masih terkenang olehku masa kanak-kanaknya yang penuh keceriaan. Tapi sekarang, dia sudah menjelma menjadi gadis berusia 15 tahun yang dewasa.
Nawang dan Sekar, dua bidadariku .
****
Mataku terasa berat, berat sekali. Kudengar suara Simbokku yang mencoba membangunkan. Kugerakkan kaki dan tanganku, tapi semua terasa membeku. Bibirku pun bergetar, tak kuat diterpa udara malam. Tapi aku harus bangun, dunia telah memanggilku ! Dengan tubuh yang berat, kulakukan rutinitas remaja pada umumnya, merapikan tempat tidur, mandi, dan berdandan. Tapi perbedaannya, mana mungkin ada anak remaja yang bersiap-siap menuju sekolahnya pagi-pagi buta begini? Mungkin si Jago pun belum membuka matanya. Akhirnya selesailah sudah ritual pagiku. Kumelirik ke arah jam dinding yang menunjukkan angka 4 nya dan berharap tak menyia-nyiakan waktu yang kupunya. Aku harus sampai di sekolah pukul setengah 7 ! Tak mau aku mengulang keterlambatanku yang dulu. Setelah berpamitan dengan Simbok dan Sekar, aku pun menyapa dunia dan menyambut hariku yang baru, berharap dapat sesegera mungkin sampai ke sekolah yang selama ini aku banggakan.
****
Pagi ini Mbak Nawang ceria sekali? Ada apa ya? Parasnya memancarkan sinar dan matanya berseri-seri. Mungkin karena ini hari pertama pelajar masuk sekolah, sehingga Mbak Nawang tampak secerah ini. Secerah purnama di Bulan Agustus.
Tapi mengapa aku tidak merasakan keceriaan seperti Mbak Nawang?
Mbak Nawang memang sempurna, sudah cantik, pintar, mendapat beasiswa, baik pula. Berbeda dengan aku yang tak terlalu menonjol ini. Bisa dibilang, aku iri padanya. Tapi bagaimana reaksi Mbak Nawang jika mengetahui adiknya sendiri iri padanya? Aku tidak mau menyakiti hati Mbak Nawang, tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku.
****
Sejenak aku merenung, sembari menyiapkan tas sekolah Sekar yang dia dapat dari pemerintah . Tuhan itu sungguh baik. Ia memberikanku kekuatan untuk menghadapi semua cobaan hidup ini. Walau keluarga kami miskin harta, tapi Dialah yang memberi kekayaan hati pada kami. Keluarga yang harmonis. Nawang selalu membantuku disela-sela kesibukannya mempertahankan beasiswa untuk bersekolah di kota, dan Sekar, walau manja, tapi ia dapat mengerti kesulitan simboknya ini. Sungguh Tuhan Maha Besar ! Dialah pula yang menguatkanku dalam menghadapi kelakuan bejat suami –em,mantan suami-ku.
****
Tinggal 15 km lagi aku sampai di kota Wonosari, yang jaraknya kurang lebih 20 km dari desaku, Desa Giri Suko. Mungkin tak banyak anak desa mau sepertiku, berjalan kaki 2 jam hanya untuk bersekolah. Tapi kulakukan ini semua untuk Simbokku. Simbok selalu berpesan agar aku tak berhenti belajar, selama pemerintah masih berbaik hati memberiku beasiswa. Hanya Simbok semangat juangku ! Ia tetap kuat meski bapak sudah meninggalkannya dan mengikat janji dengan janda kembang desa sebelah. Tidak habis pikir aku, tega-teganya bapak meninggalkan Simbok yang selama ini setia menjadi Simbok bagi aku dan adikku! Ketulusan Simbok dibalas dengan dusta !
"Ah, apa to sing tak pikir?-ah, apa sih yang aku pikirkan?"
Gumamku setelah kebencian itu lambat laun menguasai hatiku.
"Pancen aku sengit karo bapak, nanging bapak ya teteb bapakku !-memang aku membenci bapak, tapi bapak ya tetap bapakku !"
Lamunanku buyar, dan aku segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan ini sudah biasa bagiku. Maklum, dua tahun sudah aku melewati jalan yang sama setiap harinya. Sawah yang sama dan kesejukan yang sama.. Semua ini berkat pemerintah yang baik datang ke desaku dan menawarkan beasiswa bersekolah di SMP Negri Wonosari.
Tak terasa 2 jam berlalu dan akhirnya aku bertemu dengan jalan raya besar yang tak pernah ku lihat di desaku. Segera kucari kendaraan besi itu –yang biasa aku naiki- dan menuju ke SMP Negri Wonosari. Uang sakuku hanya cukup untuk membayar ongkos bis pulang balik. Untuk itu, aku membawa bekal dari rumah -gorengan Simbokku- gorengan terlezat yang pernah aku rasakan, karena memang tak pernah aku merasakan gorengan lain. Tapi bukan berarti hal itu membuat gorengan Simbokku berkurang kelezatannya. Perjalanan yang berlangsung 30 menit itu akhirnya selesai juga. Bis yang kunaiki berhenti di sebuah halte depan sekolah. Aku bergegas turun dan mengumpulkan semangatku untuk melangkah. Sekolahku nyaman, besar dan bersih, berbanding 180 derajat dengan SMP di Desa Giri Suko.
"Aku sungguh beruntung," pikirku.
Di sekolah, aku memang dikenal sebagai anak yang cukup cemerlang, tak pernah bergeser dari jabatan juara kelas. Suatu hal yang membanggakan, mengingat latar belakangku sebagai orang desa. Tapi aku tetap bersyukur dengan keadaanku itu, selama aku masih bisa bersekolah.
"Hey, manis, nanti bisa tidak pergi ke mall bersamaku? " terdengar suara lembut seorang gadis yang hampir setiap hari kudengar. Menyapaku dengan senyum khasnya.
"Ealah, kamu kan tahu sendiri rumahku di desa ? Mau pulang pukul berapa aku jika harus pergi ke mall bersamamu ?"
"Em , baiklah Nawang "
"Cheryl-cheryl , mungkin memang lebih baik kau berteman dengan Nindya saja."
"Mengapa kamu berkata seperti itu ? Tak suka kamu jika aku jadi temanmu ? "
"Ealah, Ndhuk, rasah nesu ngono !-ya ampun, nak, jangan marah begitu ! Mengko ayumu ilang digondhol wewe* !-nanti cantikmu hilang diambil wewe !"
"Lah kowe kui wewe ne !-ya kamu itu wewenya !"
Kami pun tertawa bersama. Ya, Cheryl memang orang berada. Ayahnya anggota DPR dan Bundanya bekerja sebagai karyawan perpajakan. Bukannya aku tak suka dengan orang berada, tapi, kau tahu sendirilah, pasti ada rasa iri merasuk di hatiku. Dan untungnya Cheryl berbeda. Dia bisa memaklumiku walau terkadang prinsip kami bertolak belakang.
Teett .. teett . Bel pulang pun berbunyi. Segera aku pamitan pada Cheryl lalu memutar mata ke segala arah, mencari bis yang biasa kunaiki. Tak berbeda dengan keberangkatanku, kepulanganku pun memakan waktu sekitar 2,5 – 3 jam. Melelahkan memang, tapi ku yakin kelak akan ada hasil untukku. Sesampainya di rumah, segera kulepas penat di tubuh. Beristirahat sejenak sembari menata buku untuk pelajaran esok.
Tepat pukul 4 ,
"Simbok, gorenganipun pundi ?-Simbok, gorengannya mana?"
"Iki Ndhuk, wis Simbok cepaki –ini, nak sudah Simbok siapkan"
Segera kutata ulang dagangan Simbokku ini, lalu kulangkahkan kakiku, hendak menapaki jalan desa dan berkeliling menjajakan gorengan.
"Ndhuk, ngati-ati ya! "
"Nggih, Mbok !"
Tubuh kurusku ini berusaha menopang nampan penuh gorengan di bawah matahari sore yang mulai malu memancarkan sinarnya.
"Gorengan, gorengan !" teriakku.
Seperti biasa, muncullah pelanggan-pelanggan setia Simbokku . Ada yang sedang menggendong anaknya, pulang dari sawah, ataupun juga petani yang barusan membajak sawah dan tak sengaja berpapasan denganku. Aku cukup kewalahan, maklum gorengan Simbokku memang terkenal kelezatannya.
Kulanjutkan perjalanan mengitari desa untuk mencari pembeli selanjutnya.
"Mbak, iki wis arep maghrib, ora bali po?-mbak, ini sudah mau maghrib, tidak pulang?" teriak seorang anak kecil.
*)sejenis setan
"Iya, aku ameh bali og. Lah kowe ra bali? Bareng pa piye ?-iya, aku mau pulang kok. Lah kamu tidak pulang? Mau bareng tidak ?"
"Lah ayo !"
Bersama si anak kecil, aku pun pulang dengan membawa hasil yang cukup banyak. Dari kejauhan , kulihat si Sekar kecil menungguku dengan memampangkan lesung pipitnya yang manis. Entah mengapa senyumnya itu dapat mengurai benang kusut di otakku.
****
Kulihat Mbak Nawang datang dengan wajah penuh peluh, tapi anehnya, ia tetap terlihat bak bidadari. Sesampai di rumah, kupeluk dia erat-erat, berharap bisa menghilangkan rasa lelahnya.
"Mbak Nawang entas bali pa? Aku og ora ndhelok?-Mbak Nawang barusan pulang ya? Kok aku tidak lihat?"
"Iya dhek, mbak isih kesel iki heheh.. iki isih ana gorengan turah, dimaem ya ?Dienggo lawuh. –iya dik, mbak masih capek ini heheh.. ini masih ada gorengan sisa, dimakan ya ? Untuk lauk."
"Nggih mbak, mbak ya maem, ndhak an saya cungkring. –ya mbak, mbak juga maem, nanti kalau tidak tambah kurus," gurau adikku, Sekar.
"Ealah, dhek, cungkring-cungkring ngene rosa loh !-ya ampun dik, kurus-kurus gini kuat loh !"
"Halah, kaya Mbah Maridjan ae ?"
Kami pun tertawa bersama. Setelah itu, kami makan malam dengan menggunakan nasi liwet dan sisa gorengan Simbok.
"Simbok nyindhen ?"
"Ho o, entas wae og mbak ."
Suara Simbok memang merdu, tak heran jika ia termasuk sindhen terlaris di Desa Giri Suko. Setiap hari ada saja jadwal manggungnya. Sebenarnya, terlintas di benakku untuk mengikuti jejak Simbok menjadi pesindhen. Tapi aku baru berusia 12 tahun. Apa mau bos Simbok menerima aku ?
****
Ingin rasanya aku sesegera mungkin pulang! Apalagi setelah melihat lelaki itu –mantan suamiku- dan kembang desa selingkuhannya datang ke acara peresmian Balai Desa. Tapi demi profesionalisme, aku akan berusaha menutupi rasa gundahku. Acara sebentar lagi dimulai dan teman-temanku sudah selesai melakukan ritual dandan mereka. Tapi mengapa tiba-tiba rasa benci itu menguasaiku ? Oh Tuhan, jangan sampai lelaki itu mengganggu fokusku.
Acara pun dimulai dan kami mulai menyindhen. Sesekali kumelirik ke arah mereka. Dua sejoli yang sedang kasmaran. Hal itu membuat suaraku melenceng dari nada dan pitchku 'lari' tak sesuai dengan aransemen yang disediakan. Sudah kucoba menahan diri. Tapi …
Akhirnya penampilan kami selesai jua. Aku merasa lega. Tapi tumbuh rasa bersalah pada teman-temanku. Namun tetap saja, aku diam. Tak mungkin kan aku bercerita panjang lebar tentang masalahku? Mereka mungkin takkan mempedulikannya.
Seperti biasa, setelah pentas, kami membagi honor.
"Jilah, anakmu sing jenenge Nawang ki pinter nembang* to ?-Jilah, anakmu yang bernama Nawang itu pinter nembang kan ?" tanya Pak Supri, bisa dibilang ialah juragan di desaku. Tapi tak sedikitpun aku menghormatinya, sifatnya yang hidung belang itu sudah cukup membuatku gerah.
"Iya, emang ngapa?"
"Ngene, aku butuh sindhen cilik. Piye nek anakmu dadi sindhen kaya kowe?Arep tak jak menyang kutha Jakarta-begini, aku butuh sindhen kecil. Bagaimana jika anakmu jadi sindhen seperti kamu? Mau aku ajak ke Jakarta."
"Wah, aku ra isa mangsuli saiki, Jakarta ki adoh je! Ana apa kok kudu menyang Jakarta?"-wah, aku tidak bisa menjawab sekarang, Jakarta itu jauh! Mengapa kok harus pergi ke Jakarta?"
"Ning kana ana pemilian sindhen cilik ! Ya wis nek ra gelem"
"Ya sik, tak takon bocah e sik!-Bentar, aku akan bertanya pada anaknya dulu"
****
Setelah selesai makan, kami melanjutkan rutinitas kami sebagai pelajar. Adikku yang baru menduduki bangku kelas 6 di SD Desa Giri Suko pun tak mau kalah denganku yang bersekolah di kota. Kuluangkan waktu untuk sesekali mengajarinya. Bagaimanapun aku ingin yang terbaik untuk adikku. Ia harus lebih baik dariku !
Langit-langit desa memang sudah meredup, sesekali kulihat keluar jendela, keindahan bulan yang menghiasi angkasa gelap. NAWANG WULAN, nama yang diberikan Simbok padaku. Kini aku paham harapan Simbok bagi anak sulungnya ini. Ia ingin aku menjadi penerang disaat yang lain meredup, sama seperti bulan.
"Mbak, aku arep turu, tembangke Ilir Ilir !-mbak, aku mau tidur, tolong nyanyikan Ilir Ilir !"
Pinta adikku, sejenak membuatku melupakan filosofi NAWANG WULAN.
"Ilir-ilir, ilir-ilir ..
Tandure wus sumilir.
Tak ijo royo-royo , tak sengguh temanten anyar .."
Kuakui suaraku memang tak semerdu Simbok, tapi untunglah bisa membuat adikku terlelap dan masuk ke alam bawah sadarnya. Sejenak kulihat lentera merah yang menjadi satu-satunya penerang di ruang tidur ini, lentera yang dibuat oleh Simbok saat ulang tahun adikku yang ke 11. Ulang tahun yang pasti takkan terlupakan olehnya. Itulah kali pertama Simbok memberinya hadiah.
*)menyanyikan lagu jawa
****
Aku tak bisa tidur. Pikiranku melayang entah ke mana. Hatiku gelisah, tak tahu apa yang terjadi. Mungkin Mbak Nawang mengira aku sudah tertidur lelap, melepas kegalauan dan membawanya ke alam mimpi. Ya, aku mencoba untuk tidur. Tapi tak bisa. Sambil mendengar suara merdunya, sesekali aku meresapi suara jangkrik malam. Terdengar selaras dengan lagu Ilir-ilir yang ditembangkan oleh Mbak Nawang. Tapi ? Apa itu ? sepertinya aku mendengar suara pintu terbuka ? Dan aku pun merasakan badannya yang hangat pergi menyusuri kegelapan.
****
Sesampainya di rumah, aku langsung disambut oleh Nawang. Di bawah cahaya remang-remang kulihat senyumnya teruntai indah. Sejenak telah menghilangkan sisa-sisa kegalauanku. Aku menanyakan keberadaan Sekar, dan ia mengatakan bahwa Sekar telah tertidur lelap. Dengan sedikit ragu, aku menyampaikan tawaran tadi padanya. Tak kusangka ia malah menolak dan lebih mementingkan beasiswanya. Jujur, tak ada kekecewaan yang kurasakan. Aku malah bangga pada Nawang karena ia telah melekatkan pesanku dalam-dalam di lubuk hatinya.
****
Sesungguhnya, aku sedikit kecewa mendengar tawaran Simbok. Bukankah dulu ia yang menyuruhku berkonsentrasi pada beasiswa ? Mengapa sekarang malah menawariku menjadi sindhen kecil? Bukankah Simbok tahu rutinitasku sehari-hari? Melakukan rutinitas yang biasanya saja sudah membuatku keteteran. Apalagi ditambah dengan rutinitas yang satu ini? Apalagi predikat Pak Supri yang tidak –begitu- baik di desaku. Mengapa masih percaya pada lelaki hidung belang itu?
****
Setelah kepergian Mbak Nawang, kulangkahkan kaki mungilku mengikutinya. Tak sengaja alat inderaku mendengar percakapan antara Simbok dan Mbak Nawang. Terkejutnya aku mendengar penolakan Mbak Nawang. Mungkin menjadi pesindhen bukanlah tujuan hidup Mbak Nawang, tapi seandainya aku menjadi dia, takkan sanggup aku menolak tawaran sebagus itu! Tawaran yang mungkin baginya hanya akan menambah beban hidupnya.
Kuberanikan diri memotong pembicaraan mereka.
"Simbok, kula mawon ingkang bidhal!-Simbok, aku saja yang pergi!"
Kulihat raut muka mereka. Terkejut. Mungkin mereka berpikir, bisa apa dia?
"Kowe ngomong apa to Ndhuk? Masak kowe gelem menyang Jakarta karo Pak Supri? Kesambet apa kowe?" jawab Simbok dengan ketus.
"Mboten Mbok, kula namung kepengin dados sindhen kados Simbok!-Tidak Mbok, aku hanya ingin menjadi pesindhen seperti Simbok!"
"Tapi apa kamu yakin? Mosok kamu ya percaya toh sama Pak Supri?"
Akupun menangis. Mengapa Simbok tidak peka pada perasaanku? Setega itukah Simbok padaku? Andai saja Simbok tahu, menjadi pesindhen adalah impianku.
"Mbok, kasihan Sekar. Toh semua orang bisa berubah to? Kita ndak boleh menilai orang buruk dulu. Siapa tahu Pak Supri malah bisa menjadikan Sekar sindhen yang terkenal?" kata Mbak Nawang sembari mendekatiku dan kemudian memelukku.
"Ya sudahlah, tapi kamu yakin, Ndhuk ?"
Akupun mengangguk. Tentu saja aku yakin. Inilah impianku.
"Baiklah kalo begitu adanya. Simbok ndak bakal melarang"
Aku pun meninggalkan Mbak Nawang dan kemudian memeluk tubuh Simbok. Sudah lama aku tak merasakan kehangatan tubuhnya. Lama sekali.
****
Kucoba katupkan mataku. Tapi tak bisa. Tak henti-hentinya aku memikirkan Sekar. Apa aku yakin akan menitipkan Sekar pada lelaki paruh baya itu? Perasaanku jadi tak karuan. Kepalaku terasa berat dan nafasku sesak. Tapi aku teringat pada perkataan Nawang. Ya, mungkin aku harus menghilangkan curigaku pada Pak Supri. Memang tak baik menaruh curiga seperti ini. Karena aku yakin semua manusia bisa berubah. Tak terkecuali Pak Supri.
****
Jam beker ku sudah berbunyi. Tak seperti biasanya, Simbok tak membangunkanku. Ada apa gerangan ? Aku pun melangkah keluar. Tak ada tanda-tanda kehadiran Simbok di ruangan sempit yang lazim kami sebut ruang tamu itu. Di mana Simbok ? Ah, mungkin Simbok terlalu lelah untuk bangun sepagi ini. Toh bukan suatu kewajiban untuknya bangun sepagi ini. Ini adalah kewajibanku. Kususuri ruangan sempit itu menuju kamar Sekar. Dari balik tirai merah jambu yang sudah usang, kulihat wajah mungilnya sedang tertidur pulas. Membiarkan jiwanya tentram sejenak. Mempersiapkan diri untuk kepergiannya yang belum tahu kapan itu. Semoga saja itu jalan yang terbaik untuk Sekar.
****
Si Jago berkokok nyaring dan aku pun mulai membuka mata. Kurasakan hawa pagi yang menentramkan jiwa. Merayuku agar ku kembali terlelap. Tapi Simbok memanggilku, dan membawaku keluar. Ku lihat pria paruh baya berkumis menatapku dengan aneh. Tak ingin dia meluputkan pandangannya walau sejengkalpun dari tubuh mungilku. Tubuhnya gagah, tampak sesuai dengan kumis wibawanya. Tapi tak nyaman aku menatap matanya. Setajam pisau belati ! Simbok pun mengatakan padaku bahwa pria itu adalah Pak Supri, yang akan mengajakku pergi ke kota metropolitan itu. Aku pun mendadak girang dan bersemangat. Melupakan semua ragu pada si pria berkumis. Ia menyuruhku mengemas barang, karena kami akan pergi siang ini. Sebenarnya, aku terkejut mendengar hal itu. Tapi sebelum kusampaikan rasa terkejutku, Simbok sudah lebih dulu bertanya,
"Eh, og mendadak to ? Apa ndak lebih baik kalau seminggu lagi saja berangkatnya?"
"Ora, luwih cepet, luwih apik !"
Kulihat Simbok termenung sejenak. Tak dapat mengatakan apa-apa. Ia pun menatapku, seolah mengatakan : Aja lunga, Ndhuk ! Simbok ora rila! -jangan pergi, Nak ! Simbok tidak rela !
Tapi tekadku sudah bulat. Aku pun berlari menuju kamar, menyiapkan barang-barangku. Setelah semuanya terkemas dalam tas ranselku, kutatap sekeliling. Meyakinkan diri bahwa tak ada satu pun yang luput. Tapi .. Lentera merahku ! Hadiah pertamaku dari Simbok. Maafkan aku karena tlah meluputkanmu. Tenang, akan kubawa kau kemana saja aku pergi ! Aku pun bersiap-siap. Memastikan diriku dalam keadaan secantik mungkin. Tak lupa kusisir rambut ikalku yang nyaman tergerai dan menyaputkan pemutih itu ke seluruh wajahku. Sejenak berpikir untuk menyamai kecantikan Mbak Nawang .
Setelah selesai dengan ritualku itu, aku keluar. Menemui Simbok dan pria berkumis itu –em, Pak Supri- Aku pun berpamitan dengan Simbok. Kumohonkan doa restu. Wanita cantik itu melepasku tanpa ada setetes pun air mata yang jatuh menggelayutinya. Tapi kesedihan tetap terpancar di wajah lembutnya. Matanya yang sayu itu. Tak kuat aku menatapnya. Aku memang merasa bersalah. Tapi aku yakin, mimpi ini tak akan sia-sia. Karena hidupku berawal dari mimpi.
****
Kulihat mobil itu melaju. Membawa si bidadari kecil yang penuh impian. Tak rela hati ini. Namun, aku menyerahkan semuanya pada kehendak Tuhan. Tuhan akan memberi yang terbaik untukku -itulah keyakinanku- Keyakinan yang bagi sebagian orang merupakan kekolotan. Tapi aku tak peduli pada mereka. Ini hidupku, bukan hidup mereka. Apa yang harus terjadi, terjadilah. "Kuatkanlah aku untuk segala resiko ini Gusti !"
****
Tak kusangka sudah setahun lebih aku melewati hariku tanpa kehadiran si lesung pipit. Tak ada kabar dari Pak Supri. Semuanya hilang bagai terbawa angin musim barat di Bulan Desember. Apa yang terjadi dengan adik kecilku? Bagaimana keadaannya? Apakah ia baik-baik saja di bumi orang? Sekarang Simbok tergolek lemah tak berdaya di atas ranjang. Menanti kedatangan si buah hatinya. Aku pun terpaksa berhenti sekolah. Mengurus Simbok yang mulai redup ditelan waktu. Tak tega hati melihat wanita itu terperangkap dalam kesedihan. Kehilangan sinar yang terlarut bersama kenangan indah si buah hati. Tapi apalah daya? Tak mungkin aku pergi menyusulnya dan meninggalkan Simbok di gubug reot ini. Tak ingin aku kehilangan keduanya. Tapi aku hanyalah seorang gadis kecil. Bukan seorang penuntut ambisius yang bisa melakukan segalanya demi menemukan mutiara hatinya. Jika aku bisa, akan kulakukan itu! Namun .. Simbok membutuhkanku di sini.
Bila malam tiba, aku hanya merenung, berdoa pada Tuhan yang Empunya Segalanya. Berharap ada secerca harapan untukku. Rasanya tak sanggup aku hadapi semua. Ingin kutinggalkan masalah yang ada! Tapi, apa aku setega itu pada Simbok yang 15 tahun ini sudah merawatku dengan baik? Akan kupatahkan paradigma "kasih anak sepanjang galah!" Aku akan setia merawat Simbok! Walau sampai selamanya, kan kutemani Simbok. Aku akan menjadi penerang di saat yang lain meredup!
****
Kehidupanku kini berbeda 180 derajat dengan kehidupanku dulu. Memang, kini aku bisa bernyanyi. Membebaskan asaku melalui melodi-melodi indah yang keluar dari pita suaraku. Menyuarakan harapanku lewat nada-nada yang selaras dengan hati.
Tapi, mengapa harus di sini ?
Di tengah-tengah jalanan ramai dan kebisingan lalu lintas. Berharap si tiga warna memunculkan amarah merahnya sehingga mobil-mobil besi berhenti dan tunduk padanya. Bernyanyi dan berharap si kaya mau membuka pemisah antara kami dan mengulurkan sedikit harapan untukku agar tak dipukuli bos lagi.
Di sinilah aku, di jalan ramai Kota Jakarta. Menjadi Sindhen Trotoar dan menyuarakan tangisan hati. Berharap menemukan jalan pulang dan tak dipukuli lagi.
Aku kangen Simbok! Kangen Mbak Nawang!
Meneteslah air mataku. Kulihat mereka jatuh dan membasahi aspal trotoar yang kering. Sekering hatiku. Aku menyesal atas semuanya. Ingin ku ulang waktu dan kembali. Tapi masih adakah jalan pulang untukku?
-Cerpen ini aku persembahkan untuk semua Sindhen Trotoar,
Yang masih menunggu datangnya keadilan
menyelamatkan mereka dari semua kesemuan yang ada-