Kamis, 07 Juni 2012

Cerpenku, Berhasil Buat Orang Nangis, Lho!

Menggenggam Bulan
Elisabeth Hilda, 11
"Tuhan itu satu, kan? Tapi kenapa kita kayak gini?" kata si wanita pada sebuah foto yang sedari tadi ia genggam. Foto pria yang dulu mencintainya. Kini ia tak dapat merasakan apa- apa, selain desir angin yang menggelayuti hatinya yang terlanjur kering. Merapuh.
Pelangi Bulan Desember, terlalu indah untuk dilewatkan. Kusandarkan bahu di sebelah kusen jendela dan mengusap embun yang bergumul dalam dingin yang sendu. Mataku terpejam dan angan melayang, jauh sampai tak teraih- Kirimkan melodi hitam pada Sang Esa, mengembalikan memori antara kepingan hati yang tak pernah bersatu....
*
"Kamu tau bedanya bintang sama kamu?"
"Apaan emang?"
"Kalo bintang menerangi malam... Kalo kamu menerangi hatiku..."
Kami pun terbahak. Kukepalkan tangan dan meninju bahu kirinya. Dasar, bisa-bisanya dia. Malam ini tak seperti malam biasanya- berselimut bintang dan beralas rumput. Ya, Dia sengaja mengajakku ke sini-ke Bukit Bintang. Kurapatkan tangan dan mengusap-usap lengan yang setengah beku ini, mencoba tuk menangkal hawa dingin yang dengan nakalnya merasuk. Ia pun melingkarkan tangan kanannya di pundakku.
"Dingin ya?"
Aku mengangguk setengah menunduk.
"Pulang aja yuk?" Tanyanya lagi.
"Enggak ah, gak usah. Di sini aja. Lagian baru jam 8 juga.." sanggahku. Sebenarnya, aku masih ingin bersamanya. Tentu saja, siapa yang tidak ingin bersama Dia? Dia tidak tampan, tapi coba lihatlah tepat di matanya, kamu akan melihat surga kecil di tengah kesemuan. Tatapan yang menenangkan. Senyumnya indah bagai bulan sabit di gelapnya malam. Tangan hangatnya siap memeluk saat air mata mengucur tajam. Dan.. Bahunya luas sebagai sandaran saat kau lelah akan kehidupan. Ia adalah terang. Ia adalah bintang. Ia... Segalanya.
^
Aku tersadar akan lamunan dan menatap hamparan kertas yang tersebar. Di atas meja coklat penuh ukiran inilah mereka berguling dengan indahnya. Sejenak kupijat pelipis kanan dan terpejam. Lelah. Inilah kehidupan, dihadapkan pada setumpuk laporan yang tak pernah selesai dengan sendirinya. Aku pun bangun dari kursi tempatku bersandar dan berdiri di dekat jendela- melihat langit Jakarta yang... baru kusadari cukup indah jika dilihat dari gedung pencakar berlantai sebelas ini. Mata ini berkeliling, menatap lampu berkelip dari kejauhan, berwarna-warni. Indah.
Ponselku bergetar.
Wanita itu sudah saya temukan, Pak.
Pesan singkat yang merubah segalanya.
*
Gelap. Aku tidak tahu apa yang sedang Ia lakukan. Ke mana Ia menuntunku?
"Hayooo, gak boleh ngintip!" candanya.
"Aaah, apaan, sih Ya! Kamu mau bawa aku ke mana?"
"Udah, liat aja nanti," Ia pun mendudukkanku dan membuka penutup mata yang setengah jam ini menggelapkan inderaku. Perlahan kubuka mata dan.... Aku tidak percaya pada apa yang kulihat. Meja indah berhias lilin dengan ornamen bunga yang sangat romantis.
"Happy anniv, sayang!" serunya.
"Wah, Dia! Aku gak nyangka kamu bakal ngelakuin hal kayak gini," Seruku setengah tersipu.
"Apa yang enggak, sih, buat kamu?"
"Dasar gombal!" Aku pun tersenyum dan menatapnya lekat-lekat.
"Kamu inget gak, waktu aku ngejar kamu terus ngasih mawar? Waktu pertama kali aku nyatain perasaanku..." tanyanya tiba-tiba.
"Em, inget... Waktu SMA itu, ya?"
"Tapi waktu itu kamu malah ngehindar.. Kamu takut sama aku?"
"Habis, siapa suruh ngejar-ngejar gitu.." kataku setengah tertawa. "Siapa yang gak takut coba?" Ia pun tersenyum.
"Yaudah deh, sekarang makan cake nya, ya.." kata Dia saat pelayan mengantar sepiring tart coklat dilapisi cream cheese kesukaanku.
"Kamu gak makan?"
"Udah deh kamu aja..."
"Jangan minta, ya!" Seruku sambil menjulurkan lidah dan memasang muka se-unyu mungkin. Aku pun melahap tart itu dan menikmati setiap incinya. Air mukaku berubah saat melihat benda kecil yang ternyata terselip di potongan benda coklat itu.
"Ini...?" Tanyaku sembari menatap benda mungil yang kini tertancap di ujung telunjuk. Dia pun bangkit dan bersujud di depanku. Menatapku lekat-lekat. Mata coklat itu.....
"Bulan, will you marry me?"
Demi Tuhan.
^
"Bisa lebih cepat, Pak?" tanyaku sembari terus mendongak, menatap jalan aspal yang seperti tak berujung ini. Seakan mengerti akan kegelisahanku, supir itu bergegas dan menaikkan kecepatan.
Tuhan, pertemukan aku dengan dia.
Jangan biarkan aku mengulangi kesalahan yang sama.
*
Suara merdu Sarah Brightman menyelimuti keheninganku dan Dia. Berjuta kecemasan menjangkiti otak dan membuyarkan fokusku. Kusandarkan kepenatan dan kembali menatap jalanan melalui jendela jazz putih ini.
"Kamu gak papa, Lan?" Aku tersenyum dan menatapnya. Mungkin senyum terhambar yang pernah kuberikan pada Dia.
"Hey, hey..." kata Dia sembari menggenggam erat tanganku. "Kalo kamu gak siap kamu gak harus jawab iya. Aku gak mau maksa kamu.."
Hening.
"You know, i've been waiting for three years. And i don't mind if you tell me that i have to wait one.. two.. or ten years again.." sambungnya.
Kutatap matanya. Sinar matanya membias, membiusku dan memberi keyakinan itu.
"Aku siap.." kuhela nafas dan tersenyum, "Aku siap kok jadi Nyonya Dia Brahmana."
^
"Pak, udah sampai..."
Kubuka pintu mobil dan melangkahkan kaki. Kususuri jalan setapak menuju sebuah rumah kecil di pinggir sungai. Jariku mengetuk dan terdengar suara menyahut dari dalam. Pintu itu kini terbuka.
"Maaf cari siapa, ya?" sapa si pemilik rumah.
"Bulan ada?"
*
"Eh, Nak Dia... Mari masuk, mari..." kami pun masuk sambil berpegangan tangan, mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi.
"Eh, kamu. Buat apa ke sini?" tanya Ayah dengan muka ketusnya.
"Ayah, kok gitu sih?" Tanyaku sambil setengah tersenyum dan memeluk pergelangan tangannya.
"Saya ke sini.. Mau melamar Bulan, Pak," kata Dia. Entah mengapa jantungku berdetak sangat kencang, bahkan melampaui yang bisa kubayangkan sebelumnya.
"Kamu sudah tau, kan, saya tetap pada pendirian saya.." kata ayah. Tenang. Ketenangan itu benar-benar membunuhku.
"Kalian berasal dari dua dunia yang berbeda. Dua keyakinan yang berbeda," sambungnya.
"Tapi, Pak, dari kecil saya diajarkan bahwa cinta dapat mempersatukan segalanya," jawab Dia.
"Jangan ajari saya tentang teori cinta. Perbedaan ini sangat mendasar dan sudah melekat sejak belasan tahun yang lalu. Kamu pikir cinta seumur jagung begitu bisa mempersatukan, ha?"
"Pa, tujuh tahun itu gak lama..." potongku.
"Mau jadi apa anak kalian nanti? Dibesarkan pada dua keyakinan yang berbeda, konsep yang bagai langit dan bumi. Kalau anak kalian tanya, 'Apa beda Yesus dan Allah?' kalian mau jawab apa, ha? Bisa jawabnya?" nada Ayah makin tinggi dan hatiku semakin terinjak pada doktrin klise yang selalu memutus dua insan.
"Yah..." desahku tertunduk. Perlahan-lahan kulepas genggamanku.
"Saya gak masalah kalau harus pindah..." jawab Dia dengan ekspresi datar.
"Kamu ndak masalah? Saya yang masalah, Nak! Kalau bersedia pindah itu berarti imanmu cethek, dangkal. Saya ndak bisa percaya sama kamu. Mana bisa kamu jadi Imam buat anak saya?" serang Ayah.
"Ayah, udah..." seruku setengah menangis. Tahan, Bulan, tahan.
"Sepertinya saya selalu salah di mata Bapak," kata Dia. "Tapi Bapak harus tahu, saya tidak serendah itu. Selamat malam," Dia pun berpaling dan melangkah pergi, "Mari, Tante, saya pulang dulu,"
Dia tidak tahu bukan hanya hatinya saja yang hancur malam itu.
^
"Bapak siapa, ya? Kok kenal sama nenek saya..." tanya wanita muda berperawakan menarik itu. Tinggi, langsing, tapi air mukanya menunjukkan kelelahan akan hidup. Kelelahan yang selama ini juga aku rasakan.
"Saya sudah dua tahun ini mencari Bulan.." jawabku. "Bisa dibilang saya ini bagian dari masa lalu nenek Anda," sambungku.
"Masa lalu?" tanyanya penasaran.
Aku pun menjelaskan semuanya, bagai seorang pendongeng yang menceritakan untaian masa lalu kelam yang selalu terbayang di benak.
*
Aku butuh kamu. Di Bukit Bintang ya, jam 5 sore J
Send.
Jam 5 sore, di Bukit Bintang.
Kulangkahkan kaki perlahan, ilalang-ilalang menyambutku dan mendesir, sejenak kulupakan kejadian semalam- kejadian yang merontokkan ulu hati dan merapuhkan perasaanku.
"Bulan..."
Suara itu.... Aku pun menengok dan berhambur. Menempelkan tubuh padanya dan memeluknya erat-erat. Air mataku membludak dan menyisakan tetesan kecil penuh kerinduan.
"Dia...!" seruku.
"Udah, udah.." Katanya sembari mengusap-usap kepalaku setengah memeluk.
Aku melepaskan pelukannya dan berkata, "Udah gimana?!" tanyaku sambil memukul dadanya.
"Tenangin diri dulu, ya..." kami pun duduk dan memandangi langit.
"Langitnya indah, ya.." Kata Dia. "Kamu yakin ada Tuhan di sana? Lagi ngelihatin kita sekarang?" tanyanya.
"Aku gak tau, Ya.. Yang jelas aku ngerasain ada Tuhan saat aku sama kamu..." jawabku jujur.
"Gimana bisa? Emang aku Tuhan?" tanya Dia setengah bercanda.
"Kata mama, Tuhan itu ada saat kita merasa bahagia.. Dan aku selalu bahagia waktu sama kamu..."
Dia terdiam dan menatapku. "Kamu yakin bahagia sama aku?"
"Kalau aku gak bahagia, udah sejak tujuh tahun yang lalu aku pergi,"
Dia pun tersenyum.
^
"Apa sekarang terlambat kalau saya ingin menemui nenek Anda?" tanyaku. Cemas. Takut aku terlambat menyatakan cinta padanya.
Ia hanya menatapku.
"Mungkin belum terlambat, Pak,"
Ia pun membawaku ke sebuah kamar kecil bernuansa krem. Di situ terbaring seorang wanita tua. Sekujur tubuhnya diam dan rambutnya memutih. Sepertinya Ia sakit. Aku pun berlari dan tersujud di samping pembaringan wanita tua itu. Tak kuat aku menahan tangis.
"Bulan!" seruku.
*
"Aku harus pergi, Lan..."
"Kamu mau ke mana?"
"Aku harus ngelanjutin S2 ku di Swiss, dan itu butuh waktu lama..."
"Gak masalah, aku bakal nunggu...." Ia menengok ke arahku. Kubalas tatapannya.
"Kamu gak capek sama semua ini?" tanyanya.
"Maksud kamu apa? Apa jangan-jangan kamu yang capek?" tanyaku.
"Aku.... Aku gak bisa kayak gini terus.. Udah delapan tahun, Lan, kita kayak gini. Kamu tahu kan, seberapa besar aku pengen ngelepas masa lajangku?"
"Jadi... Itu maksud kamu?" aku terdiam. "Aku gak masalah kalau harus kawin lari," sambungku.
"Gila, kamu!" serunya.
"Kamu gak masalah 'kan, kalau harus ganti agama? Sama juga kayak aku," jawabku tegas.
"Aku gak bisa, Lan. Itu... Terlalu berat dan dosa. Kamu pikir pernikahan kita bakal bahagia dengan cara kayak gitu?" tanya Dia.
"Jadi jalan tengahnya, kita harus nunggu sebentar lagi. Kamu percaya 'kan, kita bisa melewati semua ini?"tanyaku. "Aku gak bisa...." jawabnya.
Hancur.
"Jadi gini cara kamu? Setelah delapan tahun kamu mau ngehancurin ini begitu aja?"
Ia terdiam.
"Semua ini tentang kamu 'kan? Kamu lupa kalau ada aku! Kamu pikir aku gak capek sama semua ini? Aku capek, Ya! Capek! Tapi aku berusaha kuat demi kamu, dan aku harap kamu juga gitu!" Air mataku mulai meleleh.
"Kita sama-sama capek 'kan?" jawabnya. "Kenapa terus berpura-pura tegar?" sambungnya. Singkat. Sulit bagiku untuk mempercayai perkataannya. Seorang Dia sudah menyerah. Dan apa artinya jika aku bertahan?
"Kalau kamu udah berpaling dan bosen sama aku, bukan gini caranya..." kataku sambil tersenyum sinis dan pergi. Kuhentikan langkah. "Have a nice flight!"
Esoknya Dia pergi. Dan sulit bagiku untuk terbangun dan percaya bahwa cinta yang selama ini kami rajut delapan tahun kandas dalam beberapa menit. Ia bosan denganku, itulah jawabannya. Ia bosan, hah? Lalu bagaimana denganku? Mengapa Ia hanya peduli pada perasaannya, dan bukan padaku? Apakah setiap pagi aku harus terbangun dan sadar bahwa setengah hatiku telah mati? Dan apakah tiap malam harus kulalui dengan angan tentangnya?
^
Aku yang telah dua puluh delapan tahun meninggalkan Bulan kini kembali. Merasakan hangat tubuhnya dan menyadari, cintaku masih seperti dulu. Walau wajah kami mengeriput, tubuh kami melemah, aku masih merasakan hal yang sama padanya. Seandainya Bulan tahu, setiap malam- saat aku memandangi langit dan melihat bulan, aku selalu teringat padanya. Pada Bulan. Bahkan walau kini ada bintang lain- ibu dari anak-anakku, aku masih sering memikirkannya, berandai-andai bahwa Bulanlah yang berada di sisiku, bukan dia. Kupikir membangun keluarga baru, cinta baru, kehidupan baru dapat menjauhkanku akan hasrat tentang Bulan. Ternyata nihil semua. Meninggalkan Bulan adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Seandainya hari itu aku bersabar dan menunggunya, mungkin hari ini aku tidak perlu menangis dan menyesal. Kugenggam tangannya dan kulihat sebuah cincin melingkar di jari manisnya. Berjuta kenangan pun menyeruak dan meraung.
"Kamu masih pake cincin ini, ya, Bulan?" tetesan itu pun meleleh. Semakin deras. Mewakilkan tiap kata yang sulit terucap, menampilkan kesedihan yang tak terdefinisi. Kepalaku semakin tertuduk dan mataku terpejam. Kualihkan pandangan dan terlihat sebuah buku usang tergeletak di atas meja jati. Nurani menyuruhku menyingkap tabir yang tersembunyi di balik berlembar kertas itu.
Terbuka. Halaman pertama, kanan atas.
"You know, i've been waiting for three years. And i don't mind if you tell me that i have to wait one.. two.. or ten years again."- Dia. Kamu tahu Dia, bahkan aku tak dapat melupakan setiap kata yang pernah terucap dari bibirmu.
Halaman kedua.
Jika hatimu telah terpanah dan Cinta mencabutnya kembali, yang tersisa hanya koyak. Tak ada yang dapat mengobatinya kembali. Ya. Sama seperti yang telah kau lakukan, Dia. Kau tahu, sulit bagiku menerima bahwa tak ada lagi cinta yang tersisa untukku.
Kamu salah, Bulan. Aku selalu mencintaimu.
Waktu berjalan dan bumi berputar. Tapi aku terus diam. Mereka menyuruhku berjalan dan melupakan segalanya, tapi tidak, aku tak bisa. Perjodohan ini bukan mauku. Jika aku boleh memilih, lebih baik jadi perawan tua saja ketimbang melakukan perjodohan abstrak ini. Aku tidak bisa meninggalkan kenangan yang telah terajut yang telah menjadi darah di nadiku. Tapi apa yang dapat kulakukan? Di dunia ini aku tak pernah mendapat yang kuingin, kali ini pun tidak.
Hening.
Setiap kali kutulis namamu di buku ini, lukaku mengoyak dan mengoyak lagi. Aku belajar bagaimana cara melupakanmu. Kutulis terus namamu agar hatiku terbiasa dengannya. Tapi kekosonganlah yang merayapiku. Semakin kucoba tuk lupakanmu, semakin kuat hatiku meraung dan memanggilmu lagi. Kau memang kutukan bagiku, Dia. Kutukan yang membuatku terus mencintaimu.
Kubalik kertas dan lanjut membaca. Setiap lembarnya berisi kesedihan yang Bulan torehkan lewat goresan tintanya. Ya, kebodohanku menjadi koreng menahun dan tak terobati. Ini semua salahku, dan terlambat untuk memulai lagi.
Detik mengerjap, hening mengendap dan hatiku berdegap. Iba menggerayangi dan hatiku terbayangi masalalu yang tak kunjung hilang. Aku lelah, Dia, aku lelah. Seandainya hidup ini mudah- semudah kau melupakanku, mungkin aku akan bahagia. Tuhan itu, satu, Dia, kita yang berbeda. Dan tak seharusnya perbedaan itu menggoyah cinta kita. Aku diciptakan dari tulang rusukmu- kau juga tahu itu kan? Tak pernahkah sedetik saja kau rasakan ada yang hilang di tubuhmu? Tulang rusukmu yang telah lama menunggu? Aneh. Karena setiap malam kurasakan tubuhku membeku. Tubuhku yang telah kehilangan hangatmu.
Maafkan aku untuk egoku, Bulan.
Dia. Dia. Dia. Sudah kutulis namamu seribu kali, tapi tetap saja, namamu melekat di mimpiku.
Halaman terakhir.
Kini aku tak muda lagi. Begitu banyak tahun yang kuhabiskan dengan menoleh ke belakang dan berharap Dia datang. Tapi yang kulakukan hanya menghabiskan nyawa dan meniti jalan menuju maut. Aku menggali lubangku sendiri- mengoyak hatiku sendiri. Setelah dua puluh tahun barulah kusadar, Dia hanya masalalu. Apakah aku sebodoh itu dan tak akan mati jika Dia belum datang? Aku tak tahu.. Hanya saja, kurasa rohku takkan bisa tenang bila belum menyelesaikan apa yang telah kumulai. Aku masih menunggumu Dia, bahkan dalam maut. Aku ingin bersamamu, mana tahu kita bisa bersama-sama di nirwana.
Kututup lembar terakhir dan menatap tubuhnya yang diam dalam tenang. Kupaksa tubuhku bangkit dan tidur di sisinya.
"Ternyata kamu masih menungguku, Bulan. Sekarang aku datang..."
Tak henti kugenggam Bulan, mungkin genggaman terakhir yang dapat kuberikan padanya. Mataku terpejam. Gelap. Kurasakan detak jantung kami yang mulai melemah dan... Hilang dalam sebuah genggaman.

Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar